Ulah Bassiss 17, Anak Muda tahun 90an yang Legendaris

oleh -323 Dilihat
oleh

Dunia kepemudaan di Jombokan, Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo, pernah mengalami masa yang semarak. Itu terjadi di tahun-tahun awal 1990. Pelopornya adalah anak-anak muda yang masih SMA atau yang baru tamat SMA.

Banyak kegiatan dibuat, yang tidak semuanya berjalan dengan lancar. Tahun-tahun itu, memang menjadi tahun yang penuh gairah. Persahabatan dijalani tanpa memandang strata sosial. Semua guyup-rukun, menikmati masa muda.

Sejumlah prasasti dibuat. Benar. Prasasti. Sebutan itu diberikan oleh Pak Letnan untuk menyebut momentum-momentum menyenangkan. Antara lain, mbeleh enthok. Menyembelih enthok yang kami beli secara patungan. Lalu memasaknya di markas, rumah kidul milik Mbah Kromo, eyangnya Densus.

Selain ngentok (itu sebutan untuk makan besar lawuh entok) tonggak-tonggak kegiatan cukup beragam. Mulai dari kegiatan sosial, budaya, religius, hingga yang bergaya anak-anak kota. Pernah kelompo anak muda ini, membuat majalah dinding yang legendaris di belakang gapura utama Jombokan. Hingga puluhan tahun, majalah dindin itu berdiri sebelum akhirnya lapuk dan ampruk sendiri.

Selain membuat mading, kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan Bassis 17 ini, pernah memiliki lapangan pingpong sendiri. Dibuat bersama-sama, lagi-lagi dengan cara urunan.

Dan, yang paling melengeda tentu saja, kegiatan Bassiss 17 njajah deso milangkori. Ini kegiatan rutin yang dilakukan, setiap tiga bulan sekali. Personilnya, semakin lama semakin lengkap. Bassiss 17 memang berbasis pecinta alam, meski ala-ala ndeso. “Yo pokokmen koyo pecinta alam tenanan,” kata Pak Letnan yang selalu punya ide-ide menarik.

Nama Bassiss 17, muncul begitu saja. Lalu, dipas-paskan dengan nama para personilnya. B adalah nama Barno. Dia senior yang kemudian kami panggil dengan sebutan Kang Barno, nama yang mirip-mirip dan diplesetkan sebagai Kabarno.

Secara lengkap Bassiss Tujuh Belas terdiri dari: Barno, Ato, Susilo, Suwawan, Rudi, Sugawin, Subendik. Kemudian ada Tulus, Jumpono, Heri, Bero, Laljalal, serta Sujiyok. Itu formasi lengkapnya. Tapi jika sedang njanjah deso, bisa bertambah karena banyak yang begabung.

Kelompok Bassiss 17 juga punya kaos yang sangat membanggakan. Berwarna merah, berlengan panjang. Di dada, ada gambar anak muda mendaki gunung. Sementara di leher  belakang alias gitok, ada tulisan Bassiss 17. Dulu, kami buat dengan susah payah, urunan masing-masing mbayar 10 ribu rupiah.

Selain naik gunung (meski hanya gunung-gunung kecil di perbukitan Menoreh) Bassiss 17 juga eksis sebagai penggerak kegiatan kepemudaan. Misalnya saja, pernah membuat panggung 17an yang sangat monumental. Waktu itu, entah ide dari siapa, dapat dana dari mana, tiba-tiba bisa mendirikan panggung. Tempatnya di lapangan atau tepatnya pomahan milik Pak Sosial yang sekarang menjadi toko Handayani.

Panggung berdiri, alat musik siap. Yang main ya anak-anak Bassiss 17. Gitaris dipegang Pak Letnan. Ketipung Pakjumpong. Lekgawin pada bas. Sedang MC yang kemudian kondang dengan teriakan wuuuu, dipercayakan pada Suwawan.

Nah, pentas besar ini menjadi sangat membanggakan karena, diabadikan oleh jurupoto yang juga top. Kang Barno. Tapi ndilalah. Semua aksi panggung yang sudah ngedap-edapi itu, gagal diabadikan, karena rupanya Kang Barno salah memasang rol film. Jadi, semua momentum penting itu, hanya menjadi kenangan lisan, yang kami sesali hingga kini.(rom)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.