Oleh: Sudadi Idad
Perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah cerita panjang tentang penderitaan dan perlawanan. Selama lebih dari tiga abad, negeri ini dijajah, diperas, dan diperlakukan tidak adil. Namun, di balik tekanan dan penindasan itulah, muncul bara semangat yang membakar jiwa: semangat kebangsaan.
Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba (devide et impera), memecah belah antarsuku, kerajaan, dan kelompok-kelompok masyarakat demi mengamankan kekuasaan mereka. Siapa pun yang berani melawan, ditangkap atau dibuang. Tapi perlakuan kejam itu justru melahirkan tokoh-tokoh pejuang dari berbagai pelosok Nusantara yang kelak menjadi inspirasi bagi lahirnya kesadaran nasional.
Dari Tanah Jawa, Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa (1825–1830) yang membuat Belanda kewalahan selama lima tahun. Ketika akhirnya ditangkap dalam sebuah perundingan palsu, ia berkata:
> “Saya tidak sudi menandatangani perjanjian yang merampas hak rakyat dan tanah leluhur kami.”
Dari Sumatera Barat, muncul tokoh revolusioner Tan Malaka, seorang pemikir tajam yang menyuarakan kemerdekaan jauh sebelum bangsa ini bersatu. Dalam bukunya Menuju Republik Indonesia, ia menulis:
> “Kemerdekaan hanya dapat dimiliki oleh bangsa yang sadar bahwa dirinya berhak untuk merdeka.”
Di Tanah Aceh, perjuangan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar menjadi simbol kegigihan rakyat melawan kolonialisme. Di Banten, KH. Wasid memimpin perlawanan petani terhadap kesewenang-wenangan kolonial di masa tanam paksa.
Di tengah gempuran represi, muncul gerakan berbasis pendidikan dan pemikiran. Ki Hajar Dewantara, yang diasingkan ke Belanda karena tulisan tajamnya berjudul “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Orang Belanda), menyadarkan rakyat bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kemerdekaan. Beliau menggagas Taman Siswa, tempat anak-anak Indonesia belajar bukan hanya ilmu, tapi juga harga diri sebagai bangsa merdeka.
Kebangkitan nasional mulai terwujud dalam bentuk organisasi. Budi Utomo (1908), Sarekat Islam, Indische Partij, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) membuktikan bahwa rakyat Indonesia mulai sadar: hanya dengan persatuan, kemerdekaan dapat diraih.
Puncak kesadaran itu meletup dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika pemuda-pemuda dari berbagai daerah menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Ir. Soekarno, yang ditangkap dan diadili Belanda pada tahun 1930, dengan lantang membacakan pidato pembelaan Indonesia Menggugat. Ia berkata:
> “Penjara bukan akhir dari perjuangan kami. Justru dari balik jeruji, suara kami akan lebih keras terdengar!”
Kata-kata itu menjadi nyata. Semangat mereka tidak padam. Bahkan Jepang, yang datang kemudian, juga tak mampu membungkam tekad rakyat Indonesia. Hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
Mewarisi Semangat, Menjawab Tantangan Zaman:
Kini, lebih dari 80 tahun setelah merdeka, kita menghadapi bentuk-bentuk penjajahan baru: kemiskinan, korupsi, perpecahan, dan infiltrasi budaya yang mengikis jati diri bangsa. Semangat kebangsaan bukan hanya cerita sejarah, tapi menjadi landasan dalam membangun masa depan Indonesia.
Kita mengenang para pejuang bukan untuk bernostalgia semata, melainkan untuk menyadari bahwa kemerdekaan adalah amanah. Bahwa bangsa yang besar bukan hanya bangga pada masa lalunya, tetapi juga bertanggung jawab pada masa depannya.
Mari kita jaga persatuan, rawat keadilan, dan terus kobarkan semangat kebangsaan dalam setiap langkah kita sebagai anak bangsa. Karena seperti kata Bung Karno:
> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.”(*)