RUU Penyiaran Ancaman Bagi Seniman?

oleh -335 Dilihat

Oleh :  Gunoto Saparie

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran  telah memasuki babak penting dalam perjalanan regulasi media di Indonesia. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, RUU ini diharapkan mampu menjawab tantangan baru dalam dunia penyiaran. Namun, di balik harapan tersebut, muncul berbagai kontroversi yang perlu dicermati secara seksama.

Salah satu isu utama dalam pembahasan RUU Penyiaran adalah potensi ancaman terhadap kebebasan pers dan hak berekspresi. Pasal 50B ayat (2) huruf c, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai bahwa pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan pers tanpa penyensoran atau pelarangan penyiaran .

Selain itu, pasal-pasal lain dalam RUU ini, seperti Pasal 50B ayat (2) huruf k yang melarang penayangan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik, dianggap sebagai “pasal karet” yang dapat disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi .

Dengan maraknya platform digital seperti YouTube, TikTok, dan Netflix, RUU Penyiaran berupaya mengatur konten di dunia maya. Pasal 1 ayat (9) dan Pasal 17 dalam draf RUU ini memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi dan memberi sanksi terhadap konten di platform digital. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pengekangan terhadap kreativitas dan kebebasan berekspresi, terutama bagi jurnalis, kreator konten, dan pekerja seni .

Di sisi lain, RUU Penyiaran juga menyoroti aspek bisnis dalam industri penyiaran digital. Direktur Utama LKBN Antara, Akhmad Munir, menekankan pentingnya regulasi yang adil untuk memastikan keberlanjutan industri penyiaran nasional di tengah dominasi platform digital global. Ia mengusulkan, agar platform digital global tunduk pada regulasi penyiaran Indonesia, terutama dalam distribusi konten jurnalistik .

Harus diakui, di tengah gegap gempita transformasi digital dan derasnya arus konten kreatif, para seniman berada di garis depan dalam memperkaya lanskap budaya bangsa. Namun, hadirnya RUU Penyiaran 2025 justru menimbulkan kekhawatiran serius. Betapa tidak? Alih-alih menjadi pelindung dan pengarah industri penyiaran yang sehat, RUU ini dikhawatirkan menjadi alat pembatas kebebasan berekspresi, khususnya bagi para seniman dan pelaku seni kontemporer di era digital.

Salah satu hal paling mencemaskan dalam draf RUU Penyiaran 2025 adalah potensi penyensoran terhadap konten seni yang ditayangkan melalui platform digital. Pasal-pasal yang menyasar konten “tidak pantas”, “melanggar norma”, atau bahkan yang dinilai “mengandung fitnah dan penghinaan” membuka ruang interpretasi subjektif yang sangat luas. Dalam praktiknya, hal ini bisa digunakan untuk membungkam karya-karya seni yang kritis, nyeleneh, atau di luar arus utama.

Seni adalah ruang untuk bereksperimen, mengkritik, menggugat, dan memprovokasi pikiran. Jika RUU ini memberi kewenangan kepada lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menilai dan menyaring konten seni digital tanpa parameter yang jelas, maka kita sedang membuka pintu menuju sensor yang tidak hanya administratif, tapi juga ideologis.

Kebebasan Berekspresi Sebagai Fondasi Utama Perkembangan Budaya 

Kebebasan berekspresi bukan sekadar hak individu, melainkan fondasi utama dalam perkembangan budaya. Banyak karya seni besar lahir dari ruang-ruang ekspresi yang bebas: teater yang mengkritik rezim, musik yang membangkitkan kesadaran sosial, atau film yang menyuarakan suara-suara marginal. Jika RUU Penyiaran melarang konten dengan alasan “tidak sesuai norma”, siapa yang berhak menentukan norma tersebut? Apakah norma itu akan mengakomodasi keragaman budaya Indonesia, atau justru memaksakan satu tafsir moral tertentu?

Apalagi di era digital, batas antara media massa, seni, dan platform personal semakin kabur. Seorang seniman bisa merilis film pendek di YouTube, menciptakan pertunjukan daring lewat Instagram, atau mengekspresikan kritik sosial melalui podcast. Ketika semua ini masuk dalam cakupan “penyiaran digital” yang diawasi negara, maka ancaman terhadap kebebasan berekspresi menjadi sangat nyata.

RUU Penyiaran 2025 seharusnya melindungi hak-hak kreator dan seniman, bukan mengendalikannya. Negara memang memiliki peran dalam mengatur penyiaran, terutama untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian, hoaks, atau kekerasan. Namun, ketika regulasi itu diperluas hingga mengancam ruang seni dan ekspresi budaya, maka kita harus bertanya: apakah ini perlindungan, atau bentuk pengendalian?

Bahkan dalam konteks pelanggaran hukum, seperti pencemaran nama baik atau penyebaran konten tidak pantas, Indonesia sudah memiliki UU ITE dan KUHP. Tidak perlu ada duplikasi kewenangan yang justru bisa menimbulkan overregulasi dan represi terhadap ekspresi kreatif.

RUU Penyiaran 2025 harus ditinjau ulang dengan serius, terutama pada bagian-bagian yang dapat membatasi ruang gerak seniman. Seni tidak bisa tumbuh dalam ketakutan, apalagi di bawah bayang-bayang sensor. Dalam masyarakat demokratis, justru karya seni yang menggugah dan mengkritik harus diberi tempat—karena dari situlah refleksi dan perubahan lahir.

Jika bangsa ini ingin merawat kebebasan dan keberagaman budaya, maka suara seniman tidak boleh dibungkam. RUU Penyiaran 2025 harus menjadi instrumen yang mendukung, bukan meredam. Karena seni yang dibungkam adalah cermin yang dipecahkan—kita kehilangan kemampuan untuk melihat diri kita sendiri secara jujur.

RUU Penyiaran 2025 merupakan langkah penting dalam menghadapi dinamika dunia penyiaran di era digital. Namun, perlu kehati-hatian dalam merumuskan pasal-pasal agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan pers, dan hak berekspresi. Dialog konstruktif antara pemerintah, DPR, media, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menghasilkan regulasi yang seimbang dan berpihak pada kepentingan publik.

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.