Meninggalkan cungkup Ki Ageng Tarub, saya langsung menuju ke rumah pusara Raden Bondan Kejawen. Inilah menantu tercinta, yang kemudian mengganti sang mertua sebagai Ki Ageng Tarub II.
Menyeberang jembatan pendek selebar satu meteran, cungkup Raden Bodan Kejawen ya Raden Lembu Peteng, terlihat dikunci.
Hastono Adipuro berlarian membukakan gembok yang melindungi pusara, dari guyuran abu sisa renovasi. Pintu warna hijau tersibak, langsung disambut tulisan di tubu nisan; Raden Bondan Kejawen.
Saya masuk dipandu tangan kanan KRT Hastono Adipuro. Jalur yang harus dilalui (sesuai petunjuk arah, jemari jujukunci itu) menyisir ke kiri. Tidak boleh ke kanan, karena artinya, melewati kepala kuburan. Tentu saja, itu dianggap tidak sopan berjalan di atas kepala yang dikebumikan.
Suasana di dalam rumah itu, tidak berbeda saat memasuki rumah pusara Ki Ageng Tarub. Bedanya, memang tidak ada aktivitas renovasi. Selebihnya, gelap yang membuat nisan Raden Bondan Kejawen bertambah mistik, berada dalam temaram. Saya langsung menuju kepala makam, duduk, berdoa.
Tidak ada desiran di dada. Tidak pula perasaan risau, seperti ketika berada di depan pusara Ki Ageng Tarub. Di sini, di tempat Raden Bondan Kejawen, yang saya rasakan justru gelap yang memberi tenang. Selesai membaca doa kubur, saya memusatkan seluruh indera tubuh, untuk bersama-sama menemui putra Brawijaya V ini, di alam batin.
Butuh waktu lebih panjang, untuk benar-benar manjing, larut ke dalam keheningan. Lalu, masuk dunia hampa, suwung, yang hanya berisi dimensi tanpa wadak. Perjalanan batin menembus, kehidupan yang kini menjadi milik Raden Lembu Peteng, juga tidak mudah. Saya berusaha menggambar sosoknya, tapi selalu gagal.
Ya sudah. Saya meninggalkan alam suwung, kembali menapaki kasunyatan. Di depan saya, kijing yang terbuat dari keramik putih, tetap dingin tanpa sasmita. Untuk tidak mengurangi rasa hormat, saya masih bersimpuh, melafalkan dzikir, menitipkan doa keselamatan di alamnya.(bersambung)