Esok hari, 9 Februari 2018, adalah hari paling membahagiakan buat insan pers. Sebab, setiap tahun, 9 Februari selalu diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Dan, di hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, mari mengenang setengah abad meninggalnya tokoh pers Indonesia, Adinegoro.
Dia sosok paling cemerlang. Namanya abadi dan indetik dengan dunia kewartawanan. 51 tahun lalu, figur yang pernah mendalami jurnalistik di Jerman ini, meninggal. Tepatnya, meninggal di Jakarta pada 8 Januari 1967. PWI pun mengabadikan namanya dalam sebuah penghargaan yang disebut Penghargaan Adinegoro.
Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, nama aslinya Djamaluddin. Tapi pria kelahiran 14 Agustus 1904 ini, lebih populer dan dikenal secara nasional dengan nama Adinegoro. Adik tiri Muhammad Yamin ini, menempuh pendidikan STOVIA antara 1918 hingga 1924. Tapi meski sekolah dokter, minat besarnya adalah pada dunia menulis. Lalu, ia masyur sebagai sastrawan dan pelopor kewartawanan Indonesia.
Sebagai tokoh Sumatera Barat, Djamaluddin memiliki gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia sengaja memakai nama Adinegoro sebagai penyamaran. Sebab selama sekolah di STOVIA, semua kegiatan tuli-menulis dilarang. Karir jurnalistiknya dimulai dari Majalah Caya Hindia. Lalu, selama menempuh pendidikan di Jerman (1926-1930) ia menjadi koresponden untuk Panji Pustaka yang terbit di Bataiva. Pewarta Deli yang terbit di Medan, serta Bintang Timur.
Setahun setelah pulang ke Indonesia, pada 1931, Adinegoro mengambil alih tampuk pimpinan Panji Pustaka. Enam bulan kemudian, ia memegang kendali Pewarta Deli dari 1932-1942.
Sebelum dan setelah Kemerdekaan, Adinegoro berkiprah di dua media terkemuka. Sebelum memimpin Majalah Mimbar Indonesia yang masyur bersama Prof Dr Supomo pada 1948-1950, Adinegoro menggawangi Majalah Sumatera Shimbun.
Karir pendiri Perguruan Tinggi Jurnalistik Jakarta serta Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Unpad Bandung ini, dihabiskan di Kantor Berita Antara hingga akhir hayatnya. Dari tahun 1951 misalnya, Adinegoro mengendalikan yayasan Pers Biro Indonesia. Setelah itu, baru masuk Kantor Berita Nasional, cikal-bakal LKBN Antara.
Selain menjadi tokoh pers, Adinegoro juga dikenal sebagai sastrawan terkemuka Indonesia. Pada 1928 selepas dari STOVIA ia menulis dua novel yang menunjukan kemampuannya dalam menulis. Dua novel itu adalah Darah Muda dan Asmara Jaya, yang membawa Adinegoro setenar sastrawan lainnya.
Dan, hari ini, setengah abad meninggalnya tokoh-pejuang pers itu, Presiden Joko Widodo mengunjungi tanah kelahiran Datuk Maradjo Sutan Djamaluddin Adinegoro di Sawah Lunto. Tidak sekadar melakukan kunjungan kerja, Jokowi juga menyerahkan sertifikat tanah kepada ahli waris Adinegoro.
“Dari Kabupaten Solok, Presiden dan Ibu Iriana akan melanjutkan perjalanan menuju Kota Sawahlunto. Di kota ini, Presiden akan menyerahkan sertifikat tanah kepada ahli waris dari keluarga Djamaluddin Adinegoro,” tulis Setkab.go.id.(kib