Sejenak, saya terhenyak. Tiba-tiba saja, mbrebes mili. Mata Terasa perih, saat mendengar seorang kawan di Solo mengabarkan duka cita. Mas DK sedho. Saya langsung menghubingi beberapa orang yang dekat dengan DK alias Didi Kempot.
Dari ruangan sempit, agak temaram karena hanya ada satu lampu baca, saya merenungkan semua ini. Saya terakhir bertemu Pakde (ini sapaan akrab sobat ambyar untuk Didi Kempot) tanggal 1 Maret 2020 lalu. Pertemuan yang istimewa di solo, karena bersama pejabat-pejabat pusat.
Di sebuah rumah makan di tengah kota Solo, DK datang dengan gayanya yang khas. Kaos kemerahan ditingkah warna putih, serta sepatu yang juga identik dengan dirinya. Yang tak berubah adalah ramah yang sumrambah. Ia akan menyapa dengan diselingi tawa.
Hari itu, memang agak kebetulan. Saya sedang ke Jogja, lalu mendapat dawuh dari Pak Sumarjono untuk merapat ke Solo bertemu mas Didi Kempot. Pak Jono yang Direktur Perencanaan Strageis dan Teknologi Informasi BPJS Ketenagakerjaan sedang merancang kerjasama dengan maestro campursari ini.
Saya didawuhi nderek pertemuan itu, karena salah satu agenda Pak Jono adalah meminjam judul lagi Sewu Kutho untuk dijadikan judul buku yang ditulis piyayi Nganjir, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo ini. Resminya buku lanjutan Nami Kulo Sumarjono yang terbit pada tahun 2018 lalu.
Ini bukan pertemuan pertama saya dengan DK. Beberapa kali bertemu, tentu dalam suasana mencari berita. Atau, pertemuan-pertemuan lain di belakang panggung, jika ia sedang manggung di seputaran Jakarta.
Pertemuan pada 1 Maret 2020 itu, mestinya akan dilanjutkan pertemuan-pertemuan berikutnya secara berkala, tapi rasanya menjadi pertemuan terakhir, karena setelah itu, Indonesia dilanda Corona sehingga semua orang dianjurkan untuk di rumah saja menyusul berhentinya, hampir semua aktivitas.
Beruntung, pertemuan Solo itu, masih meninggalkan kenang-kenangan paling berkesan. Sebuah wawancara khusus, yang kemudian dikemas dalam tayangan channel youtube kabarnodotcom. Itupun tidak bisa berlama-lama, karena ia harus langsung ke Temanggung, untuk manggung pada malam harinya. Pak Jono yang melakukan wawancara juga sudah ditunggu angenda lain.
Tapi lumayan. Meski serba singkat, bisa menggambar perjalanan karir Didi Kempot yang pernah ‘nggelandang’ dan ngamen di kawasan Slipi Jakarta Barat. Nama Kempot juga bagian dari fase itu. Sebab kempot adalah singkatan Kelompok Pengamen Trotoar.
Didi Kempot bukan hanya maestro campursari. Ia seniman yang paham berkarya. Kini, lagu-lagunya, bahkan dinyanyikan sebagai paduan suara massal oleh kaum milenial. DK seolah mampu menemus batas antara yang lampau dengan yang kini. Rasanya, hanya Didi Kempot yang memiliki penggemar sangat berlimpah dari kalangan anak muda, termasuk anak-anak muda metropolitan.
Semua konsernya, selalu berubah menjadi lautan manusia dengan teriakan yang sama. Menyanyi bersama, menari bersama, meski lagu-lagunya adalah lagu-lagu duka lara. “Ini adalah cara saya sebagai seniman, jangan sampai meskipun hati ambyar tapi tetap harus hepi. Dijogeti wae,” ungkapnya.
Kemampuan Didi Kempot merengkuh anak muda, memang bukan datang begitu saja. Ia memiliki bekal yang sangat cukup sebagai seniman berkharisma. Dan itu, tidak mengherankan, karena pria kelahiran 31 Desember 1966 ini, lahir, besar, dan hidup di lingkungan para seniman.
Orangtua serta keluarganya termasuk penggiat kesenian yang gigih di Solo. Siapa yang tidak mengenal Mbah Ranto, pelawak kawakan, pemain ketoprak, serta pangripto tembang yang kondang.
Mbah Ranto, atau nama panggungnya Ranto Edi Gudel, bukan hanya pelawak. Tapi juga pencipta lagu Jawa kenamanaan. Salah satu judul yang sangat populer adalah Anoman Obong. Sang ibu, juga seorang pesinden yang punya nama di Solo.
“Saya dilahirkan dari keluarga seniman. Bapak saya, Mbah Ranto, seorang seniman tradisional. Ibu saya meskipun tidak sepopuler Waljinah tapi juga sinden yang punya nama. Terus Mas Mamiek Prakoso, pelawak yang bergabung di Srimulat,” ungkap Didi Kempot di Channel Youtube Kabarnodotcom.
Sambil merampungkan tulisan ini, saya berusaha menggambar wajah Didi Kempot, seniman dengan sangat banyak julukan membahana itu: Lord Didi, Bapak Patah Hati Nasional, The Godfather of Broken Heart.
Sugeng tindak mas. Panjenengan mengajarkan bahwa kesedihan tidak harus ditangisi berlama-lama. Sebab hidup adalah sebuah paradoksal yang ganjil jadi meski sedih, sudah semestinya kita bernyanyi dan menari. Dijogedti wae…(*)