Tertelungkup. Kebiasaan Paidi ketika menghadapi banyak masalah yang tidak kunung mendapat jawaban.
Menyembunyikan diri, bahkan kalau perlu melarikan diri. Menghindar dari masalah yang dihadapi. Meski Paidi tahu semua tindakannya itu tidak juga menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun itu satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk sekedar mengalihkan kepenatan beban fikirannya.
Tertelungkup. Paidi berharap bertemu Mirah meski hanya dalam mimpi. Sebuah pengharapan yang mungkin datang, namun sangat mungkin akan belalu sampai pagi menjelang. Kalau sudah demikian Paidi tinggal meratapi hari-harinya hingga menjelang petang. Sebuah kebiasaan buruk. Meski Paidi tahu namun tetap saja berlalu dengan kebiasaan itu.
Tertelungkup. Seperti burung unta yang menyembunyikan kepalanya ke dalam pasir. Padahal badannya tetap saja di atas permukaan tanah yang sewaktu-waktu dalam bahaya. Kehidupan ini layaknya sebuah padang pasir yang luas membentang dengan berbagai permasalahan. Datang silih berganti senang, susah, gembira, sedih dan duka lara semua datang dan pergi. Paidi merasa seperti burung unta. Tertelungkup menyembunyikan permasalahannya sendiri.
Meski Paidi juga tahu tindakan semacam itu tidak menyelesaikan permasalahan. Namun tetap saja berlanjut, karena tidak ditemukan lagi cara penyelesaian yang ampuh. Satu-satunya yang mudah, murah dan memberi ketenangan meski sembentara yang tertelungkup atau menelungkupkan diri.
“Bertemu langsung Mirah, jauh panggang dari api,”
“Mencari ke sana ke mari juga bagai menggantang asap,”
“Satu-satunya tinggal tertelungkup. Menelungkupkan diri,”
“Mencari cara penyelesaian, meski hanya sementara waktu saja,”
“Tertelungkup, syukur dapat bermimpi bertemu dengan Mirah seorang,”
Paidi berharap dapat bertemu Mirah dalam mimpi. Sangat berhasrat dan berharap. Sampai-sampai harus berdoa, hanya untuk mendapatkan mimpi bertemu dengan Mirah seorang. Begitu lama Paidi berdiam diri, berdoa dan membayangkan dapat bertemu dengan Mirah. Terlelap tertidur dan masih tertelungkup.
Benar saja malam itu Paidi bertemu, berdua bersama Mirah. Paidi-Mirah seperti setahun lalu, berjalan berdua, bersepeda ke sekolah dan bersama-sama di rumah. Malam itu Paidi bagai Pak Lurah dan Mirah sebagai Bu Lurah. Seperti khayalan mereka ketika masih kanak-kanak.
Tidur berdua di kamar yang dibuat dari dinding-dinding yang membatasi. Ada senthong kiwo, senthong tengen di rumah induk. Sedang di bagian depan joglo yang juga berfungsi sebagai balai pertemuan di antara anggota keluarga besarnya.(bersambung)