Dan, inilah Butuh (berada di Kelurahan Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah). Tempat legenda yang tak pernah surut dikisahkan. Legenda tentang kesaktian Joko dari Tingkir.
Ya, Joko Tingkir. Legenda yang kini, ikut bersemayam abadi di pusara sederhana, di dusun yang juga bersahaja. Terasa benar, jauh dari kemewahan seorang raja. Padahal, siapa yang tidak mengenal Joko Tingkir? Dialah trah Brawijaya V, yang melanjutkan dinasti Demak, dengan membangun Kerajaan Pajang.
Meninggalkan cungkup utama, saya berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bukan untuk apa-apa, tapi sekadar ingin, memasukkan lebih banyak oksigin yang dipenuhi aura mistik kharomah Joko Tingkir.
Panas masih memanggang kepala. Kaki telanjang, seperti tersengat bara, begitu menginjak halaman cungkup yang berkonblok. Melewati pusara Ki Ageng Ngerang, Nyai Ageng Ngerang, serta KPH Mas Demang Brang Wetan (tiga pusara itu, ada di luar cungkup utama) saya melipir ke arah selatan, menemui juru kunci.
Seorang muda, baru genap 40 tahun, memakai sarung warna hijau muda, menemui. Namanya Mas Aziz. Dia memang belum terlalu lama, menjadi juru kunci Makam Butuh, meneruskan ayahnya yang telah berpulang.
Sebagai juru kunci yang masih baru, Mas Aziz memang tidak banyak memberi informasi. Selama menjaga makam keramat, belum ada yang istimewa terjadi. Ia mencatat, hari-hari sibuk hanya saat ulangtahun kota Sragen, karena bupati pasti berziarah. Selebihnya, Butuh tetap dusun yang berlindung dalam kesenyapan.
Tidak lama, saya bertegur-sapa dengan juru kunci yang bersarung dan berbatik warna senada itu. Setelah bicara-bicara sekadarnya, saya putuskan untuk berpamitan. Saya meninggalkan Butuh, setelah masuk kembali ke masjid tua yang keramat itu.
Sekilas, saya mengintip di pengimaman dan mimbar yang juga tua. Tidak ada orang yang sedang sholat, saya mencari-cari bila ada sesuatu yang bisa dikisahkan. Tapi nihil. Pak Tua yang saat saya dating sedang mengaji, juga tak tampak. Kepada masjid kuno, peninggalan Ki Ageng Butuh itu, saya pamit mengundurkan diri, untuk selalu mengenang lengenda dusun Butuh, lengkap dengan kebesaran tokoh-tokohnya yang mandraguna.(bersambung)