Dua Buku untuk Dua Idola di Masa Lalu

oleh -210 Dilihat
oleh

Tadi malam, menjadi malam Kamis Pon yang menyenangkan. Sebab tiba-tiba, saya mendapat undangan makan malam yang njanur gunung. Undangan dari Mbak Kembar, teman yang kondang, bahkan sejak zaman dulu.

Dua-duanya, pernah menjadi idola. Juga bagi kami waktu itu, waktu masih bocah-bocah ndesit yang senang sobo kali, mancing, tawu, atau njodang jika kali sedang meluap. Wong Njombokarto, yakinlah tetap tidak asing dengan nama ini, terutama buat generasi 80an.

Ini serius. Saya agak tidak percaya saat Mbahro mendadak, agak tumben, sore-sore yang biasanya sedang sangat sibuk sebelum kantornya tutup, kok ngasih kabar pengin ketemu. Saya sudah mau leyeh-leyeh di rumah setelah sejak kemarin digempur perjalanan ulang-alik, Mbandung-Mbogor-Mbekasi-Ciledug. Tapi begitu mendengar nama mbak kembar disebut, saya langsung mak gregah menyatakan siap kepada Mbahro yang sudah berbaik hati menjadi tuan rumah.

Sudah. Pertemuan menjadi sangat gayeng, karena cerita mengalir, termasuk tentang masa lalu. “Pak Rom ini kok masih ingat ya yang dulu-dulu, sampai ingat kata-kata yang dulu diucapkan, hebat sekali ingatannya,” kata Mbak Kembar yang agak langsing yang segera diiyakan Mbak Kembar yang menyebut dirinya tidak langsing tapi langsung.

Mbak kembar, seperti sudah dibayangkan semua orang waktu masih di desa, kini menjadi dua sahabat yang sukses. Yo ra mokal, dasarnya pintar dari SD hingga lulus UGM, maka lengkaplah ketokohannya.

Nah, mumpung bertemu dengan dua idola, saya juga tidak mau kalah to. Lewat Mbahro saya memberikan dua buku. Tentu saja buku yang baru rampung saya tulis yang tanggal 21 Desember nanti akan diluncurkan di Dusun Nganjir, Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo: Nami Kulo Sumarjono.

Tapi ya begitu. Saya harus menyerahkan buku itu lewat Mbahro agar tidak dianggap nranyak. Ini penting, sebab, mustahil secara terang-terangan saya berani sok-sokan, karena yang sedang saya hadapi adalah dua sahabat yang langganan juara kelas.

Bertemu kawan lama, segeralah, ingatan saya terlempar ke masa lalu, saat kami masih di SD. Di sekolah kami yang legendaris itu, Mbak Kembar (dulu semua orang bingung membedakan yang satu dengan yang satu lagi) ini memang dikenal pintar.

Saya sekelas dengan Mbak Kembar yang satu (mohon maaf tidak saya jelaskan Mbak Kembar yang mana, takut didukani). Saat itu, saat kelas 5 SD, duduknya paling depan persis di muka meja pak guru, mepet tembok utara. Lha karena saya murid yang tidak pintar, tentu memilih duduk di bangku belakang, dijeda lima bangku dari  depan.

Kawan sebangku saya adalah priyayi kidul pasar yang tak kalah pintar. Saya ingat, waktu itu, pelajarannya pak Dal  yang tak kalah legendaris di SD.  Dari belakang, dari tempat duduk kami, Mbak Kembar terlihat memegangi vas bunga warna cokelat tua. Saya tahu persis vas bunga itu terbuat dari tunggak pring wulung yang saya keduk dari wetan Pemakaman Kauman.

Tapi sialnya, vas yang mendapat penilaian tinggi dari pak guru dan dipilih untuk dipajang di meja guru itu, bukan buatan saya. Vas bunga itu adalah  gubahan teman sebangku saya yang priyayi kidul pasar yang memang seorang seniman, sehingga terampil membuat apa saja yang berhubungan dengan karya seni. Termasuk vas bunga yang saya juga membuat (bahkan dari bahan bongkot pring wulung yang kami keduk sama-sama) tapi punya saya jauh dari artistik.

Dan, dengan senang teman semangku saya itu menunjukan adegan ketika Mbak Kembar memegangi vas kembang itu. Ada kalimat yang masih saya ingat, tapi sudah pasti, sebaiknya tidak saya tuliskan di sini. (rj)

No More Posts Available.

No more pages to load.