Bulan Maret memang memiliki banyak kisah. Mulai dari yang membahagiakan karena menjadi kelahiran sejumlah tokoh penting, hingga hari berbalut duka oleh sebab kepergian tokoh-tokoh tertentu. Dan, inilah cerita yang tertinggal di bulan Maret.
Catatan pertama yang harus saya tulis adalah duka terdalam, saat tanggal 16 Maret 2002, kabar meninggalnya Pak Kayam, datang. Saat itu, saya memimpin sebuah koran ibukota. Lalu, secara spontan saya siapkan kolom khusus di halaman utama untuk menulis kedekatan saya dengan Profesor Dr Umar Kayam.
Agak aneh memang, karena koran yang saya pegang adalah koran kriminal, meskipun dengan tiras besar, tapi pembacanya bukan dari kalangan yang mengenal sosok Umar Kayam, sastrawan terkemuka, pendidik kharismatik, serta orang Jawa yang hidup sangat santai. “Ya ini untuk menghormati sampeyan yang kenal dekat dengan beliau,” kata Bang Zoel, kawan pimpinan yang lain, tentang keinginan aneh saya itu.
Saya mengenal Pak Kayam, tentulah, karena banyak meliput kehidupan seniman Indonesia. Nyaris setiap sedang sepi berita, saya menelepon, untuk ngobrol dan mengomentari berbagai hal, yang kemudian menjadi berita. Semua urusan apapun, bisa dikaitkan dengan kebudayaan. Itu, yang membuat pria Ngawi kelahiran 30 April 1932 ini, kesal.
Dan, rasa anyel itu, ditulis dalam salah satu kolom Mangan Ora Mangan Kumpul yang kaloko itu. Tulisan itu, kemudian menjadi salah satu judul di buku Satrio Piningit Ing Kampung Pingit, Mangan Ora Mangan Kumpul-4.
Berikut ini, saya petikan tulisan Pak Kayam yang waktu saya diberi tahun soal itu, langsung merasa kecemes bathuk saya. Judul tulisan di halaman 83 itu adalah Rupiah.
Sore-sore waktu saya sedang leyeh-leyeh di kursi goyang, masih setengah bangun dari tidur siang alias siesta, telepon saya berbunyi, krriiing, seru banget. Anda pernah mendengar suara telepon yang tiba-tiba berdering suatu sore hari waktu Anda baru bangun tidur? Menjengkelkan bukan? Waktu dengan malas saya angkat telepon, saya dengar dari pihak sana suara klemar-klemer khas Jawa, tapi ternyata suara itu datang dari Jakarta, suara seorang reporter dari suatu surat kabar gede, bahkan surat kabar pelopor pada zaman revolusi di Jakarta.
Selanjutnya, tulisan yang tertera dibuat pada 26 Agustus 1997 itu, menjadi kenangan paling penting dalam banyak peristiwa bersama Pak Kayam. Coba baca dengan tuntas tulisan itu, terasa betul kasih sayang Guru Besar UGM ini, dengan caranya yang tidak kentara.
Waktu akhrirnya bertemu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, jauh setelah buku itu diluncurkan, Pak Kayam hanya berkata pendek, “Sudah terbit, cari aja di toko buku. Itu, yang itu,” katanya membuat saya agak bingung saat itu.
Pak Kayam terlihat sehat, meski sudah agak buyuten. Jalannya juga mulai tertarih saat saya mengiringnya melipir dari depan Graha Bhakti Budaya menuju jejeran warung-warung di muka Galeri Cipta II. Siang itu, mantan Dirjen Radio, Televisi, Film (RTF), memesan soto ayam. Seperti biasa, dengan nikmat, Pak Kayam menyuap sesendok demi sesendok soto ayam itu, dengan tangan yang sudah terlihat sekali buyuten.
Pertemuan saya dengan Pak Kayam di TIM itu, rasanya menjadi pertemuan terakhir, karena setelah agak lama tak sowan di Ndalem Keagengan cabang Cipinang, Sabtu pagi, 16 Maret 2002, datang kabar duka, Pak Ageng Umar Kayam, sedo di RS MMC Kuningan. Kini, 16 tahun sudah, pemeran Bung Karno dalam film legendaris Pengkhianatan G30S/PKI itu, meninggalkan panggung sastra. Dan, hari ini, dalam catatan yang tercecer di akhir Maret, saya ingin mengheningkan cipta, berdoa untuk kebahagiaan Pak Kayam di sisi Illahi.(kib)