Perjalanan Baratayuda sudah tergambar, bahkan jauh sebelum perang tergelar. Siapa yang bakal kuat mengemban amanah menjadi raja juga telah ditetapkan para dewa.
Maka begitulah. Bima ya Sena ya Werkudara, menyudahi semadi. Ia membuka mata ketika tubuhnya mendapat sorot yang cumlorot dari langit. Prabu Kresna yang mencari Bima diiringkan Arjuna paham bahwa Wahyu Widayat telah menyatu dengan Bimasena.
Kebahagiaan menyeruak di tengah hutan, tempat Sena bertapa. Lalu, bersama Kresna dan Arjuna, ia kembali ke Amarta membawa Kebahagiaan. Sebab, siapa yang kuat menerima Wahyu Widayat akan mampu menjadi Ratu Agung.
Rombongan yang berarak dari tengah hutan, sedang menjelang di gerbang luar negeri Amarta. Tapi mereka sudah dihadang Setiaki yang membawa kabar bahwa Wara Sembadra, istri Arjuna yang hamil tua, sudah melahirkan. Seketika, Bima meloncat, meninggalkan rombongan, berlari menuju ksatrian Masukara. Ia lupa baru saja dinasehati Kresna untuk tidak bersentuhan dengan bayi selama 40 hari, agar Wahyu Widayat tetap bersamanya.
Di Madukara, Bima langsung membopong anak Sembadra yang baru lahir. Di sanalah, dalam satu helaan nafas, meloncat Cahaya benderang dari tubuh Bima. Cahaya yang kemudian menghampiri jabang bayi di gendongan Bima.
Dari kejauhan Kresna yang melihat tingkah Bima hanya mengirai senyum tipis, lalu memberi tahu bahwa Wahyu Widayat sudah pindah ke anak Arjuna. Maka sadarlah Bima pada kesalahanya.
Dengan suara lirih karena tertelan geram, Bima meminta pada Arjuna agar anaknya direlakan dibawa Bima untuk dijadikan anaknya. Tapi tentu sajalah, Arjuna tidak bisa menuruti permintaan kakaknya.
Seketika, Bima marah dan memberikan bayi pada ibunya yang langsung menangis tanpa bisa dihentikan jeritnya. Tangisan itu baru berhenti saat bayi kembali dalam pelukan Bima. Sejak itulah, Arjuna merelakan anaknya juga menjadi anak Bima.
Begitulah. Lakon wahyu Widayat ini, menjadi lakon favorit pecinta wayang, karena memang menarik. Orang Jawa paham, lakon ini memberi pesan kepada para pemimpin untuk menepati janji, taat pada larangan, serta sadar menjadi panutan.
Sebuah lakon yang rasanya pas, untuk kita baca ulang dalam memaknai gelaran Pilpres yang tahapannya sudah dimulai. Semoga tidak ada pemimpin yang seperti Bima gagal memelihara wahyu Widayat yang sesungguhnya sudah ada dalam genggaman.(*)