Setelah berjalan setengah melingkar, sampailah di bangsal kedua. Peziarah hanya bisa di sini, sebeb anak tangga berikutnya sudah dipagar. Di bangsal inilah, semua tirakatan, lelaku, semadi lengkap dengan ubo rampenya dilakukan.
Sebuah praja cihna atau lambang kasultanan terlihat dipasang di tiang bangsal. Lambang kebesaran Istana Jogja yang sangat familier bagi kawula Mataram. Simbol kebesaran dengan tulisan HB di tengah-tengahnya. Ukuran lambang keraton itu, juga cukup besar, terbuat dari kayu jati.
Memasuki bangsal yang digelari karpet warna hijau muda, senada dengan warna bangunan yang khas warna kasultanan, suasana sudah terasa angker. Secara samar, saya melihat banyak bayangan berseliweran. Seperti para abdi dalem, yang sedang menyiapkan hajatan. Bersama itu, bayangan lain, menggambar orang-orang pedusunan.
Saya memasuki bangsal, dengan menghirup udara mistik yang kental. Yakinlah, bagi para waskita, atau ahli semadi, tempat ini akan menyenangkan, karena dikelilingi suasana magis, ditemani pengikut para leluhur Mataram yang luhur. Lebih dari itu, mereka yang biasa bertapa dan akrab dengan tempat-tempat keramat, akan bisa melihat pemandangan yang lebih beragam, di alam lelembut.
Begitu berada di bangsal, langkah seperti segera dituntun untuk duduk, menghadap sebuah pagar kayu yang dililit kain kafan. Ya, kain kafan yang sudah mulai robek-robek, dengan warna pudar bercampur jelaga hitam.
Bersimpuh, saya manekung, membawa cipta dalam hening. Seluruh panca indra saya istirahatkan, untuk kemudian menajamkan batin. Dalam angan, saya lukis kejadian-kejadian di masa silam, saat Ki Ageng Pemanahan, bertetirah di tempat ini. Saya berusaha menghadirkan suasana Bang Lampir, ketika Ki Ageng khusuk memohon hadirnya wahyu keraton.
Tentu saja tidak mudah, usaha saya untuk melukis masa silam, atau terlebih menghadirkan kembali suasana perburuan wahyu oleh Ki Ageng Pemanahan. Tapi paling tidak, datangnya hembusan hawa hangat, bersama usainya semadi saya, menjadi pertanda baik. Pertanda baik bahwa saya diberi palilah, untuk menuliskan kembali kisah ini. Kisah Ki Pemanahan, di awal-awal membangun Mataram sebagai nagarigung.(bersambung)