Hari sudah gelap saat Indrajit turun dari angkutan umum. Bayangan sekolah aneh di pinggir sawah sudah berganti dengan kepekatan jalanan. Hanya sesekali lampu sepeda terlihat dari kejauhan seperti kunang-kunang yang kehabisan daya. Lalu, menghilang di tingkungan.
Dalam gelap yang tak tersibak, Indrajit mengayun gegas langkahnya. “Kenopo mlakune cepet-cepet sih,” suara itu, mengejutkannya. Suara yang sekaligus memastikan, ia tak berjalan seorang diri.
Indrajit agak terkesiap, takjub bukan hanya oleh suara itu, suara seorang perempuan yang secara ajaib, menemaninya sejak dari Kembangan. Indrajit takjub, juga salah satunya, karena begitu saja muncul iba melihatnya berdiri seorang diri menunggu angkutan yang tak lagi datang, di depan STM Kembangan.
Tiba-tiba, ketika perjalanan dalam gelap itu, menyentuh titik paling pekat, Indrajit kembali dibuat terkesiap. Kali ini kagetnya bercampur kecamuk antara gemetar, risih, tapi menikmati. Lebih dari semua itu, hati dibuat kelimpungan mengatur rasa, karena begitu saja lengannya menghangat. Ada jemari yang bergayut di sana. Ia tidak tahu, keberanian dari mana yang mengantar jemari gadis itu, menghampiri lengannya. Mungkin ingin mengusir takut, tapi bisa jadi karena dingin terpaan angin sawah.
Memang. Sebelum jari-jari lembut itu, mencengkeram erat lengannya, sudah sejak turun dari angkutan umum, lengan gadis itu lebih sering merapat ke tubuhnya. Entahlah. Barangkali perempuan di sampingnya itu sengaja. Atau, hanya karena ayunan langkahnya yang membuat gerakan tak sengaja.
Tapi Indrajit tahu, sudah sejak bergerak meninggalkan Kembangan, mata yang semula cemas karena pulang kesorean, mengamati dalam diam. Mungkin, memastikan bahwa laki-laki yang menghampiri, kemudian mengantarnya pulang, bukan laki-laki yang berniat tidak baik.
Beberapa kali, tatapan mata itu, ketahuan sedang nglirik. Lalu, dibuang ke samping kanan, mengamati pepohonan yang berlari ditinggalkan angkutan umum yang akan membawa mereka ke kota Wates.
Dan, seperti ingin memberi kepastian bahwa dirinya berniat baik mengantar pulang, sepanjang perjalanan dari Kembangan ke depan terminal Wates, kemudian turun di pertigaan Siluwok, Indrajit lebih banyak diam. Apalagi, begitu melintas di depan sekolah ajaib yang membuat hidupnya tak pernah tenang itu.
Selama ini, Indrajit nyaris tidak pernah lewat jalan besar di depan SMP tempat ia pernah setahun di sana. Irisan luka yang tak kunjung sembuh, selalu saja semakin nyeri setiap mengingat apa yang terjadi di sekolah itu. Juga sore saat ia terpaksa melintas di depannya. Sore yang membuat ia lebih banyak mengunci bibir.
“Kamu pendiam sekali ya, ora seneng ngeterke mulih?” Indrajit tersenyum mendengar kalimat itu. Senyum yang sudah pasti tidak dilihat siapapun. Tapi ia berfikir, bukankah memang tidak ada yang perlu diobrolkan?(bersambung)