Meresapi Kesederhanaan Keris Dhapur Jalak

oleh -212 Dilihat
oleh

Dalam dunia perkerisan, sangat banyak dhapur yang elok, selain memancar pamor wingit. Tapi ada satu dhapur yang populer yakni jalak. Inilah keris legendaris milik masyarakat Jawa secara umum. Sebab, dhapur jalak melambangkan keberkahan hidup yang serba berkecukupan.

Penanda pertama keris dhapur jalak adalah bilahnya yang lurus dengan ukuran melebar. Terlihat bersahaja, namun di balik semua yang sederhana itu, tersimpan wibawa yang tak teraba. Bagi pecinta keris, dhapur jalak, menjadi favorit karena sebagai simbol kerezekian.

Menurut Beta P Yuwana, praktisi keris dari Kebumen, dhapur jalak sangat merakyat. Jenis keris ini, yang umum dijumpai ada sekitar 12. Mulai dari Jalak Buda hingga Jalak Ngore. Ini adalah keris kesayangan orang Jawa, seperti sifat jalak yang serba menyenangkan, penghilang lelah, serta burung yang dikenal pekerja keras dalam urusan mencari nafkah.

Contoh yang bisa ditemui masyarakat Jawa, tambah Beta, salah satunya Jalak Sangu Tumpeng. Bilah keris sederhana ini, banyak dijumpai pada masyarakat Jawa karena merupakan simbol ajaran hidup dalam mencari nafkah. Juga, menekankan pentingnya kejujuran, hubungan sosial, dan ketakwaan kepada Tuhan.

Di Keraton Jogjakarta, dhapur jalak yang sangat kondang karena sakral adalah Kanjeng Kiai Ageng Kopek. Ini dia keris paling keramat yang memiliki dhapur Jalak Sangu Tumpeng. Selain Kanjeng Kiai Ageng Kopek,  di Keraton Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat, juga ada Kanjeng Kiai Danuwara yang berdhapur Jalak Sangu Tumpeng.

Masyarakat Jogjakarta paham, Kanjeng Kiai Ageng Kopek merupakan pusaka utama keraton. Duwung agung itu selalu menyertai Ngarso Dalem Sri Sultan. Awalnya, keris milik Kanjeng Sunan Kalijaga, diterima Pangeran Mangkubumi saat naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, setelah perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta pada 1755.

Kanjeng Kiai Ageng Kopek yang berdhapur Jalak Sangu Tumpeng, selalu menjadi pusaka yang menyertai setiap Sultan Jogja sejak Kanjeng Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono pertama hingga ke sepuluh saat ini. Sebab, keris ini memang hanya boleh diturunkan kepada raja.

“Walaupun sederhana tetapi tetap nyess di hati. Entah kenapa saya secara pribadi sangat mengagumi keris berdhapur jalak. Benar. Walaupun sederhana tetapi nyess di hati. Secara antropometri juga cukup ergonomis,” kata kolektor keris ternama ini.(kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.