Prabu Salya termenung di pinggir beranda Astina. Ia sedang menghitung dilema hidupnya yang paradoks. Begitulah raja Mandaraka yang harus membayar biaya jiwa paling mahal untuk Baratayuda. Tiga putrinya ikut menjadi tumbal perang besar itu.
Memang tidak lagi ada pilihan. Sejak Dewi Banawati harus bersedia menjadi istri Jokopitono, raja muda Astina ya Prabu Suyudana, Kurupati, Sang Gendarisiwi, garis hidupnya sedang ditulis. Garis hidup yang harus berada di tengah pusaran perang. Kesemestian Banowati adalah usaha menyelamatkan muka sang ayah. Selain tentu saja, agar tidak ada peperangan antara Mandaraka dan Astinapura.
Lalu bagaimana hati Banowati? Gadis ini adalah paradoksal lain dari hidup Salya. Lihat saja, sikapnya yang menerima nasib buruk harus menjadi istri Jokopitono ya Suyudana, meski kemudian dinobatkan sebagai permaisuri.
Banawati, sudah pasti bukan sekadar menerima. Sebab, yang ia lakukan hanya drama. Cinta bukan untuk Jakapitana. Hatinya telah lama dimiliki Arjuna. “Aku mau menjadi istrimu, tapi aku bebas bertemu dimas Janaka, kapanpun,” syarat itu diucapkan Banawati sambil tersenyum penuh kemenangan pada Jokopitono.
Jadi itulah yang akhirnya terjadi. Dewi Banawati memang telah disunting raja Astina itu, tapi api cintanya untuk Arjuna tak pernah dipadamkan. Cinta yang membuatnya bebas berselingkuh dengan Janaka, kapan saja dia inginkan. Cinta memang penuh dengan cerita. Sementara pernikahan, tidak selalu berkaitan dengan cinta. Ada 1001 alasan untuk sebuah ikatan perkawinan.
Dan, Dewi Banawati telah memberi contoh yang meski tidak presisi betul, tapi mengena dalam konteks menjual hati untuk kepentingan politik. Perkawinan Banowati yang dipaksakan karena alasan politik, sangat nyata dipraktekan oleh calon politisi yang sedang mencari suara.
Barangkali memang tidak salah, apalagi jika dilihat dari kacamata politik. Tapi seperti Banowati, perkawinan mereka akan diwarnai banyak gejolak, selain ancaman perpecahan. Lihat saja bagaimana Banowati sengan enteng memendam cinta untuk Arjuna. Itulah, gambaran yang sangat bisa mungkin terjadi pada politik: memberikan suara politiknya tanpa dasar hati nurani namun demi hitung-hitungan kepentingan.(*)