Kembang Lampir-4: Kesinupan, menjadi Selimut Pertapaan Kembang Lampir

oleh -38 Dilihat
oleh

Saya baru beranjak, meninggalkan depan Pacak Suci Krapyak, setelah tiba-tiba saja seperti terdengar suara mengaum. Hanya sekali dan samar-samar. Saya tidak tahu persis, benarkah pendengaran saya itu, atau sekadar rerunggon karena berada di tempat angker.

Tapi akhirnya, saya memutuskan untuk meninggalkan Pacak Suci. Buat saya, agaknya itu pertanda, untuk menyudahi persamuan dengan tempat Ki Ageng Pemanahan mencari wahyu kedaton.

Setelah memberi salam, saya mundur, meninggalkan bangsal dengan perasaan berdesir. Perasaan aneh, yang membuat saya digerayangi senyap yang menyergap. Entah apa makna semua itu.

Kembali menuruni tangga, sampai di tikungan sebelum menukik, ada pintu bambu yang gemboknya hanya dicantelkan tanpa dikunci. Inilah jalan menuju bangsal utama, tempat menyimpan benda-benda pusaka. Para peziarah memang harus lewat jalan ini, sebab memang ada larangan untuk melewati sebelah barat Pacak Suci.

“Ya itu memang peraturan sejak dari zaman Ngarso Dalem ke Sembilan. Artinya apa, ya kami tidak perlu tahu, kami hanya harus menyampaikannya seperti itu,” kata Pak Tris saat saya turun, bertanya mengapa tidak boleh berdiri di sisi barat Pacak Suci.

Berjalan melingkar, saya dibawa ke depan bangsal utama, berbentuk rumah limasan yang khas keraton, lengkap dengan warna hijau lumut. Bangunan itu, selalu terkunci, dan hanya hari-hari tertentu saja dibuka, ketika ada utusan dari keraton.

Ada tiga patung di depan bangsal itu. Tiga gentong, serta sebentuk pusara yang diberi rumah-rumah kecil setinggi 50 cm. Pusara itu, dililit rantai besar, seperti dijaga penuh kesetiaan oleh tiga patung yang bersila khusuk. Tiga pohon besar menaungi, dengan tiga pohon lain yang belum lama ditanam.

Suasana terasa lebih mencekam, karena rasanya tiga patung itu, bukan hanya menjadi penjaga, tapi seklagus memancarkan aura mistik. Ada perbawa yang tidak biasa. Tidak hanya saya yang merasakan, tapi juga beberapa kawan yang ikut bersama-sama mendekati patung-patung itu. Entahlah, mungkin karena terbawa suasana yang memang senyap mencekam, atau oleh sebab mori yang membungkus setengah badan tiga patung itu.

Tidak melakukan apa-apa, selain sekadar menengok, saya hanya beberapa menit di tempat yang pekat oleh aura mistik itu. Kembali meniti jalan melingkar, saya menuruni anak tangga utama. Lagi-lagi, dalam hati, saya menghitung jumlah undak-undakan yang curam itu. Hasilnya? 50 anak tangga. Padahal, saat naik, saya menghitung ada 47 anak tangga. Lalu, tiga kawan saya, juga menjumlah dengan angka berbeda-beda.

Mendekati pos jaga para juru kunci, saya sekali lagi mendongak ke atas, memandangi pertapaan yang sunyi. Beberapa pohon beringin putih di sisi kanan, menjulang memagari tempat suci ini. Kesinupan, seolah menjadi selimut Pertapaan Kembang Lampir, untuk tetap menjadi kawasan yang keramat.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.