Belum beranjak dari Jogja, kota sejuta cerita. Kali ini saya ingin bercerita tentang Jogja bagian barat alias Kulon Progo. Di sebuah sudut Kulon Progo yang menjadi kampung halaman, ada yang menarik untuk ditelisik.
Sering, orang lebih menyukai jalan-jalan di kota daripada menikmati kampung halamannya sendiri. Barangkali karena sudah bosan atau kurang menarik, tapi seperti Jogja , ada yang selalu menarik untuk disinggahi dari Kulon Progo.
Saya memang agak jarang pulang kampung di Dukuh Balong, Samigaluh, Kulon Progo. Jadi begitu pulang, ada kenikmatan tersendiri bila bisa melihat keindahan alamnya: ada sawah, sungai, kebun, atau langit di kala senja dan bintang-bintang di malam petang.
Dan semua kenikmatan itu menjadi sempurna ketika malam dingin ditingkah angin yang sembribit, dihangatkan oleh api unggun. Sengaja, kami menyalakan unggun untuk melengkapi secangkir teh jahe, kopi susu serta camilan singkong yang dibakar di atas api unggun.
Mumpung pulang kampung. Dua sahabat saya, Dita dan Heroe terlihat bahagia dengan segala kesederhanaan Dukuh Balong.
Kebun teh Nglinggo
Segala yang membahagiakan itu, berlanjut di pagi hari. Jalan keliling kampung sekalian olah raga sambil menyapa warga sekitar, kami bersiap berangkat ke Desa Wisata Nglinggo yang merupakan area kebun teh.
Ketika membeli tiket masuk di loket pinggir jalan menuju area wisata, kami ditawari off road oleh seorang pemuda setempat yang sedang berdiri di dekat mobil Jimny. Waah menarik. Setelah sedikit menawar (sekadar menuruti naluri ibu-ibu yang senang tawar-menawar) kami memilih Jimmy putih.
Mas Fitri, pemuda yang memiliki Jimny tadi, menjadi pemandunya. Kami bertiga duduk di belakang, di bangku yang terbuka. Sesekali, saya berdiri untuk melihat pemandangan yang lebih luas.
Pertama kami dibawa masuk ke jalan kecil yang memang hanya muat untuk mobil sebesar Jimny, menuju Borobudur Highland. Menurut info, apabila cuaca bagus pengunjung bisa melihat Borobudur di kejauhan dari tempat yang paling tinggi di area ini. Tentunya perlu perjuangan keras apabila harus berjalan kaki.
Daerah ini merupakan Glamping atau Glamourus Camping yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata pada bulan Juni 2018. Lokasinya, berada di kawasan hutan pinus di perbukitan Menoreh milik Perhutani yang dikelola oleh Badan Otoritas Borobudur. Glamping di Borobudur Highland Benowo Purworejo, ternyata berbatasan dengan Kecamatan Samigaluh.
Saya membayangkan, seru dan menarik, bila melakukan gathering atau reunian di area tersebut. Selain camping terdapat juga Tree House atau rumah pohon yang disewakan kepada pengunjung. Upaya yang dilakukan oleh Badan Otoritas Borobudur dengan memanfaatkan keberadaan hutan pinus milik Perhutani, untuk menarik wisatawan patut diacungi jempol.
Selanjutnya Fitri membawa kami menyusuri jalan berliku yang rimbun oleh pepohonan menuju aliran sungai yang berubah menjadi jalan karena kering di musim kemarau.
Pastinya akan lebih seru apabila offroad di musim hujan karena jalan menjadi lebih licin ditambah air sungai bercampur lumpur. Dibutuhkan keahlian khusus untuk menjalankan jimny dengan baik.
Akhirnya setelah menikmati guncangan yang seru sepanjang offroad, kami melalui jalan beraspal menanjak menuju kebun teh Nglinggo. Terlihat sebuah gardu pandang ditengah perkebunan teh untuk melihat pemandangan yang sejuk menawan.
Kami mengurungkan niat untuk berjalan mendaki menerobos pohon teh. Hari sudah mendekati siang ditambah lagi, sepertinya tak kuat menuju ke sana sehingga cukup puas menikmati pemandangan dari atas jimny serta (tidak lupa) membuat foto-foto kenangan.
Meninggalkan Nglinggo, kami berburu kuliner lewat internet. Maklum, ini Samigaluh yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Tapi ternyata, ada dua pilihan yang menyenangkan, setelah berselancar dibantu Mas Google: Kopi pak Rohmat dan kopi Mojo.
Kopi Pak Rohmat saya pernah mencoba. Jadi, pilihannya adalah menikmati kopi Mojo yang letaknya berada di Gerbosari Samigaluh.
Di Gerbosari, ada pengrajin biola yang populer. Kami memutuskan mampir. Tidak sulit mencarinya, karena setelah bertanya kepada penjual minuman di pinggir jalan, kami ditunjukkan jalan menuju rumah mas Joko si maestro pembuat biola yang dikenal dengan merk Japrak.
Ternyata mas Joko tidak hanya mahir membuat biola, tetapi alat musik apa saja yang mengeluarkan bunyi seperti gitar, mandolin, Erhu (biola China), Cello. Semua dikerjakan secara hand made. Langganannya berdatangan dari luar negeri seperti Belanda, Rusia, Ukraina. Mengagumkan, padahal sistem pemasarannya hanya gethok tular.
Ketika ditanya belajar dari mana, jawaban mas Joko mengejutkan. Dari Tuhan. Dari Tuhan pula, ia mampu membina group musik keroncong yang terdiri dari anak muda di sekitar Gerbosari, Samigaluh.
Puas melihat karya seni gubahan Mas Joko, menjadi bekal yang menyenangkan, setelah sampai di Kopi Mojo. Pesanan kami garang asem, tempe goreng dan paket nasi putih beserta lauk yang tersaji di gerobak disertai teh poci yang menyegarkan.
Akhirnya, Samigaluh menyuguh segala yang penuh rasa bahagia. Kami pulang dengan kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang memberi trenyuh, karena sekali lagi bahwa bahagia itu sederhana. Cukup ke Samigaluh, berteman api unggun di petang hingga malam hari.(*)