Hari ini, tanggal 16 Januari 2020. Saya ditanya anak muda tentang makna katresnan jati kuwi: saboyo muti saboyo pati. Oke, saya akan tuliskan tentang hal itu. Setidaknya, sebatas yang saya rasakan melihat tulodo Mbah Hadi.
Ya harap maklum. Anak muda yang bertanya adalah generasi milenial. Cah Bekasi yang baru nyantrik di Solo, salah satu pusat kebudayaan Jawa. Jadi ya memang harus dipahami jika belum sampai pada sanepan tentang katresnan jati.
Biar lebih muda. Mari cermati kata per kata. Katresnan berasal dari kata tresno. Cinta. Katresnan bisa dimaknai bahwa kecintaan kita. Lalu jati, merupakan penggalan kata sejati. Jika kemudian disambungkan menjadi katresnan jati, dapat diartinya kecintaan kita yang sejati.
Nah, katresnan jati kuwi atau kecintaan sejati itu titik dua, saboyo mukti saboyo pati. Kalimat ini umpama dpethil-pethil atawa dionceki alias dibelah-belah menjadi saboyo dan mukti. Saboyo bisa diartikan bersama. Mukti adalah kebahagiaan, kemuliaan, kamukten, kemakmuran. Saboyo mukti ya bahagia bersama, mendapatkan kemuliaan bersama, menikmati kamukten bersama, meresapi kemakmuran bersama-sama sebagai pasangan.
Lalu, saboyo pati. Pati adalah lawan kata urip atau hidup. Jadi saboyo pati ya memiliki makna, mati bersama-sama. Kalimat saboyo pati menjadi cangkep alias lengkap jika disambung dengan kata sebelumnya, saboyo mukti.
So, saboyo mukti saboyo pati, gampangnya adalah sikap kesetiaana pasangan Jawa. Ia akan menjalani hidup bersama, dimulai dari kesusahan hingga ke kebahagiaan. Inilah bentuk kesetiaan yang dilandasi saling memahami. Yang perempuan ngabekti, yang laki-laki nyembadani.
Masih susah juga ya? Baiklah. Saboyo mukti saboyo pati bisa disamakan dengan kalimat sehidup-semati. Hanya bagi orang Jawa, kalimat sehidup-semati itu, rasa-rasanya kurang mendalam. Kurang kontemplatif.
Saboyo mukti saboyo pati adalah jalan cinta yang tak biasa. Sudah pasti lebih maknawi, meresap di dasar hati. Mendalam. Nunjem ing nolo. Saboyo mukti saboyo pati itulah bentuk paling nyata dari cinta sejati.
Tapi adakah cinta yang demikian? Bagi penggemar wayang, ada contoh paling tragis tapi memberi suri yang berarti. Kematian Siti Sendari. Ia memilih bela pati, ikut ambyur ing pancolo, ikut menceburkan diri dalam api yang membakar Abimanyu. Cerita ini ada dalam Mahabharata episode Rancapan atau Abimanyu Gugur dalam perang suci Bharatayuda.
Jika mau ditarik ke kehidupan yang lebih baru, katresnan jati bisa ditemui pada kisah hidup Roro Mendut. Ia memilih ikut mati, ketika Pranacitra, kekasihnya terbunuh dalam lakon cinta segitiga: Temenggung Wiroguno-Roro Mendut-Pranacitra.
Kemudian bagi saya. Tulodo katresnan jati, contoh cinta yang sejati, diberikan oleh Mbah Hadi kakung-putri. Kepada anak-putu-buyut, simbah menunjukan betapa besar rasa cinta yang mereka miliki. Sehingga begitu mbah putri dipanggil Sing Nggawe Urip, mbah kakung menyusul 40 hari kemudian.
Tentulah bukan kebetulan jika kepergian mbah putri kondur ke haribaan Tuhan lebih dulu. Padahal selama ini, yang sudah rapuh (karena pernah kena serangan stroke) adalah mbah kakung. Dalam kondisi ringkih, simbah lanang masih mampu menjaga simbah wedhok. Itulah komitmen sekaligus bagian dari semangat saboyo mukti saboyo pati.
Dan, begitu tugas-tugas mbah putri di dunia selesai mulai dari melahirkan kita, mengasuh, membesarkan, hingga mengantar kita mentas semua, baru mbah kakung menyusul. Hingga akhir hayat, simbah menjalani susah-senang berdua, bahkan jauh dari anak-putu-buyut yang dicintai dan didoakan dalam setiap helaan nafas.
Jadi begitu anak muda. Simbahmu, sudah memberi suri, menunjukan teladan paling nyata dalam menjalani apa yang disebut katresnan jati yang dijalani mulai dari saboyo mukti saboyo pati. Semoga, Mbah Hadi kakung-putri mendapat tempat terbaik di sisi Gusti. Mari selalu berterima kasih dan melanggengkan doa-doa untuk simbah. Al-Fatihah…(*)