Saya menapaki jalan itu, satu-satu. Dalam bayangan, langkah benar-benar menuju sebuah keraton. Secara spontan, tidak ada keberanian untuk jumawa. Cara saya berjalan, juga tiba-tiba saja, tampak berat, rikuh, takut dianggap tidak sopan memasuki jalan menuju keraton.
Setelah menyeberang jalan, yang membelah pantai dan kawasan cepuri, saya berusaha mengangkat wajah. Tatapan saya arahkan lanjung ke cakrawala. Mendekati bibir pantai, saya berhenti. Jujur saja, tidak berani meneruskan langkah. Ada cemas, jangan-jangan, akan terus terbawa masuk ke tengah kedaton; yang berarti hilang, entah sebagai hukuman karena dianggap tidak sopan atau justru memang dikersake menjadi pengikut Kanjeng Ratu, sehingga tak bisa kembali lagi ke jagad manusia.
Ombak yang mengirim suara riuh, saya rasakan seperti ajakan untuk terus berjalan mengikuti irama deburannya. Sesekali, ajakan itu, terasa sangat memaksa, sehingga langkah kembali saya ayun lebih ke selatan. Sekuat tenaga dan batin, saya mohon untuk tidak dibawa lebih ke dalam. Tapi langkah bagai mengayun sendiri, tanpa bisa saya hentikan.
Senja memerah, sudah dibingkai gelap, saat saya rasakan kaki dijilati lidah ombak. Saat itu, saya baru menemukan kesadaran penuh, saya sudah benar-benar berada dalam batas bahaya; secara harafiah bahaya karena mendekati tebing laut yang tersembunyi di bawah ombak Parangkusomo, secara gaib bahaya karena sedikit lagi sudah benar-benar tidak bisa kembali ke dunia, setelah berada di alamnya penguasa Laut Kidul.
Seketika, saya meloncat mundur tiga langkah. Lalu kembali empat langkah. Setelah tujuh langkah dari jilatan riak gelombang, saya duduk, mengelesot di gumuk pasir. Dalam kendali, entah siapa (karena saya rasakan semua serba samar) dua tangan tertangkup, membentuk sembah, di depan dada.
Bersama gelap yang terus merayap, saya bersemadi. Memohon maaf, jika dianggap telah melakukan kesalahan, memasuki pelataran keraton Laut Kidul. Beberapa jenak, mata sengaja saya katupkan, mencoba bersungguh-sungguh menembus alam mistik, untuk menghaturkan pengaksami, permintaan maaf yangmendalam.
Gelap sudah menjadi selimut keseluruhan Laut Kidul. Tidak lagi terlihat apapun di arah selatan, selain gempuran ombak yang ajeg. Saya sudahi semadi dengan mengangkat tangan yang terkatup di depan hidung. Menyembah. Lalu, bangkit, berjalan ke utara, menuju cepuri. Pengalaman mistik yang baru terjadi, membuat langkah menjadi lebih berat. Saya merasa perlu, menyempurkan ritual sowan Kanjeng Ratu, dengan bersemadi di dalam cepuri.
Lampu sudah bernyalaan sejak gelap menjelang. Parangkusumo berpendaran, di sisi kiri dan kanan komplek cepuri. Di tempat itulah, berjajaran rumah wisata, warug yang sesekali riuh oleh gelak perempuan.
Saya menapaki jalan lurus selatan-utara, menuju cepuri. Pohon-pohon palem yang meraksasa memberi pemandangan yang sinup. Orang mulai berlalu-lalang. Laki-laki atau perempuan yang siap diajak menikmati malam. Mereka adalah sisi lain, di tengah pusaran arus mistik Parangkusumo.(bersambung)