Pagi ini, suasana Makam Kauman, terlihat siap menerima tetamu yang akan ikut dalam Nyadran Ageng hari kedua. Pak B, ahli sounsystem juga sudah mulai ngetes perangkatnya. Itu memberi suasana Nyadranan yang sangat khas sejak zaman dahulu kala.
Sudah sejak kemarin sore, tenda didirikan, kloso digelar. Tadi malam, ritual lek-lekan juga dilakukan pasca tahlil bersama. Berada persis di pinggir jalan yang selalu riuh, Nyadranan di Makam Kauman, seperti menjadi etalase tradisi yang semarak. Semua orang akan melihat keteguhan masyarakat Jombokan dan sekitarnya dalam menjadikan Nyadranan sebagai temu trah.
Seperti makam lain di tlatah Desa Tawangsari, di kuburan ini, termasuk tempat pemakaman yang tua. Pajimatan Kauman juga memiliki pemunden yang sangat sepuh. Masyarakat menyebut Eyang Pakujati. Konon, ini adalah tokoh yang hidup di era peralihan antara Majapahit-Demak. Tapi ada pula yang menyebut di era yang lebih tua lagi.
“Ya, kalau di sini pepundennya Kiai Pakujati. Menurut dongeng dari simbah-simbah, hidupnya di era Majapahit. Saat itu, negerigung Mojopahit akan ngecak perang ke tlatah barat. Nah salah seorang senopatinya ya Kiai Pakujati ini. Beliau tidak ikut kembali ke Majapahit dan menetap di sini,” jelas Pak Dukuh Jombokan, Sugiarto tentang Kiai Pakujati yang menjadi pepunden di Pajimatan Kauman.
Nama Kauman yang dipakai untuk menandai pemakaman ini, juga memiliki cerita tersendiri. Setidaknya, yang dipahami publik, nama Kauman selalu identik dengan tempat para kaum. Dalam tradisi desa, kaum adalah sebutan untuk tokoh agama yang selalu menjadi rujukan masyarakat. Dan, di sinilah dipusarakan Kiai Abdul Syukur, tokoh tua yang pernah dipercaya Keraton Mataram untuk menjadi pengelola Masjid Jombokan.
“Tahun lalu, banyak santri dari luar daerah yang mencari makam beliau. Terus ditunjukkan ke sini,” kata Mbah Kemat, salah seorang sesepuh masyarakat Jombokan yang paham tentang sejarah para leluhur masyarakat Dusun Jombokan.
Dan, makam tempat para kaum dipusarakan itu, sudah benar-benar siap menyambut anak-cucu-buyut-canggah, yang ingin berdoa dan ngleluri tradisi Nyadranan. Nanti siang, selepas tengah hari, masyarakat Jombokan, Bujidan, Kopok Kulon, Soronanggan, Siluwok Lor, Siluwok Kidul, semua akan berkumpul di sini.(mg)
Di tahun 1980-1990 an bagi anak-anak dikenal dengan istilah “cureng” dari kata Kacu di Jereng, yang artinya menggelar “kacu” dari kain untuk membawa makanan yang dulunya dari daun. baru setelah maju memakai besek bambu dan sekarang bungkus lebih praktis lagi dari plastik. Membawa kacu wajib bagi anak anak agar mudah dalam mengemas makanan yang terdiri dari nasi, suwiran ayam ingkung, sayuran, lemper, apem, pisang dan makanan lain.
kasinggihan…