Terpaksa pulang ke keraton, kembali bergelut dengan kesenyapan. Hatinya terus-terusan nelangksa. Dalam proses pencarian, Pangeran Suryomentaram bertemu dengan banyak kegetiran. Di keraton, semakin banyak pertanyaan batin yang tak terjawab.
Dalam sebuah titik kejenuhan, ia, berkeyakinan bahwa semua kegelisahan itu, akibat harta yang dimiliki. Sebagai seorang pangeran, ia memang dilimpahi kekayaan yang tidak sedikit. Itulah yang membuatnya mengambil keputusan gila; seisi rumahnya dijual.
Mobil pangeran yang kala itu, menjadi tanda kegengsian, dijual. Uangnya diberikan kepada sopirnya. Kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada perawat kuda. Pakaian dibagikan pada para pembantunya.
Setelah seluruh rumah kosong, ternyata kegelisahan tak kunjung hilang. Hatinya masih penuh rasa sepi. Ia rindu bertemu orang. Itu yang membuatnya, kemudian gemar keluar-masuk tempat-tempat keramat. Ia misalnya, pernah bertapa di Luar Batang Jakarta. Di sana, konon, Suryomentaram bertemu dengan para wali. Pertapaan dilanjutkan ke Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan banyak tempat lagi.
Setiap kali bertirakat ke tempat keramat, hatinya justru semakin tidak tenang. Selanjutnya, Suryomentaram mulai mengerjakan shalat dan mengaji. Nyaris semua guru atau kiai yang sakti dan terkenal, didatangi. Toh, rasa tidak puas tetap mendera batinnya.
Hari-harinya yang dipenuh perasaan galau, ternyata tidak membuatnya ingin minggat lagi dari keraton. Apalagi setelah Pada 1921, di usia 29 tahun, sang ayah meninggal dunia. Segeralah seisi keraton berkabung.
Dalam upacara agung, Sri Sultan Hamengku Buwono VII ditandu ke ke astana Imogiri, tempat raja-raja Mataram dikebumikan. Semua pangeran, para prajurit, serta kawula Ngayogyokarto mengantar dengan busana kebesaran. Hanya Pangeran Haryo Suryomentaram yang tidak. Ia menggenakan ikat kepala Begelenan. Begitu juga kainnya, bercorak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru. Ia mengempit payung Cina.
Perilaku yang ganjil itu, masih diteruskan ketika pulang dari Imogiri. Dia berhenti di Pos Barongan, membeli pecel berpiring daun pisang. Ia makan sambil duduk di lantai ditemani segelas cingcau.
Tidak ada orang yang berani mendekat. Tidak pula para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem. Ada yang menganggapnya, Pangeran Suryomentaram adalah seorang wali, tapi tidak sedikit yang menyebutnya sudah hilang ingatan.
Jalan kebebasan yang dicari Suryomentaram, ditemukan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja. Kali ini, permintaannya berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dikabulkan. Selanjutnya, sebidang tanah di desa Bringin (desa kecil di sebelah utara Salatiga) dibeli. Di sinilah, ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin.(kib)