Memiliki luas 5.500 m2, Sukuh dibangun dalam tiga teras. Susunan teras itu, memiliki makna yang mendalam. Secara keseluruhan, Candi Sukuh dan Candi Perwara di sebelahnya, menghadap arah barat.
Dan, dari Sukuh, rombongan harus kembali berlarian. Ke atas, pelarian Brawijaya semakin mendekati Gunung Lawu. Namun sebelum sampai di puncak, untuk kemudian moksa, Brawijaya Pamungkas kembali membangun candi. Terletak di Dusun Cetho Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, candi ini dikenal sebagai Candi Cetho.
Nama Cetho, tentulah diambil dari bahasa Jawa yang berarti jelas. Memang, dari tempat ini, mata akan dengan jelas memandangi Lawu yang sakral. Dan, tidak hanya puncak Lawu yang menghipnotis pandangan. Sebab, dari Cetho juga bisa terlihat gambaran Merapi dan Merbabu. Sementara yang samar-samar, Sindoro-Sumbing juga bisa dilihat.
Ada 14 susunan teras, sesungguhnya di candi ini. Namun undak-undakan yang membujur arah barat-timur itu, tinggal 13 yang bisa ditemukan. Dari jumlah itu, yang sempat mengalami pemugaran, hanya sampai 9 teras saja – sebuah proses pemugaran yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan – karena diyakini tidak melalui kajian arkeologis.
Dua arca yang biasa disebut sebagai Nyai Gemang Arum, menyambut tetamu di undakan pertama. Setelah itu, gapura gaya candi bentar menjadi pintu memasuki area cukup luas. Ada bangsal tanpa dinding di sisi selatan. Sebuah batu dapat ditemukan, sebagai tempat meletakan sesaji.
Dari halaman ini, teras kedua menanti, dengan disambut arca Nyai Agni. Di tempat ini, masih menyediakan area luas. Sebuah gambar garuda terbang, dibentuk dari hamparan batu dengan sayap bergambar matahari. Sementara itu, di punggung garuda, ada bentuk kura-kura. Jika garuda memberi lambang dunia atas, kura-kura menggambar dunia bawah.
Di teras ini pula, ada Kalacakra yang terbentuk dari segitiga. Kalacakra adalah ornament yang menggambar alat vital laki-laki sehingga candi ini juga sering disebut sebagai Candi Lanang.
Di teras ketiga, kembali sebuah halaman terhampar dengan bangsal, berhias batu tempat sesaji. Dari teras ini, di undakan keempat, akan ditemukan tangga hasil pemugaran. Di teras berikutnya, yakni teras kelima, sebuah pataung Bima seolah menjadi penyambut tetamu. Tidak banyak yang berbeda dengan teras-teras sebelumnya, di undakan keenam, juga perupa halaman, meski agak lebih kecil.
Bangsal tanpa dinding, masih bisa ditemukan di teras ketujuh. Di sini ada gapura, serta tangga yang diapit Ganesha dan Kalacakra. Sementara di teras kedelapan, ada candra sengkala yang menyembunyikan angka tahun pembuatan candi ini.
Tiba di teras nomor Sembilan, dua bangunan berkiblat ke timur, menjadi tempat penyimpanan benda-benda bersejarah. Sedang di depannya, dua bangunan lain, menyimpan patung Sabdapalon di sisi kiri, serta Nayagenggong di sebelah kanan. Mereka adalah dua pengikut kinasih yang kadang berperan sebagai pemandu spiritual Brawijaya V yang legendaris.
Berikutnya, di teras ke-10, ada tiga bangunan saling berhadapan di sisi kiri dan tiga lagi di kanan. Arca Brawijaya terdapat di bangunan di sisi kiri. Sedang di kanan, dapat dijumpai arca Kalacakra.(*)