Yogyakarta, KABARNO.com : Sejumlah dosen Universitas Muhammadyah Yogyakarta (UMY) berinisiatif membangun ruang aman dan edukatif bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) melalui program pengabdian bertajuk “Kesadaran Kesehatan Mental Pekerja Migran Indonesia di Taiwan”.
Ir. Emil Adly, S.T., M.Eng., Ketua Tim Pengabdian Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menjelaskan program ini melibatkan dosen lintas disiplin seperti Martyana Dwi Cahyati, S.T., M.Eng.; Ir. Wahyu Widodo, M.T.; Ir. Puji Harsanto, S.T., M.T., Ph.D.; serta dua alumni, Weny Irma Wardani, S.T. dan M. Afzalurrahman, S.T., serta mahasiswa Teknik Sipil semester lima, Nazwa Khairunnisa. Kegiatan dilaksanakan di wilayah Zhongli, Taiwan, dengan dukungan dari Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Taiwan.
Program ini dilatar belakangi fakta bahwa bekerja di luar negeri bukan hanya soal ketahanan fisik atau keterampilan kerja, tetapi juga tentang kemampuan bertahan secara emosional dalam lingkungan yang serba asing dan menantang.
“Di balik peran penting Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagai penyumbang devisa negara, masih terselip sisi kehidupan mereka yang kerap luput dari perhatian: “Kesehatan mental”,” jelas Ir. Emil Adly, S.T., M.Eng., Ketua Tim Pengabdian Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), seperti dikutip dari laman situs umy Minggu (6/7/2025).
Diuraikan Emil Adly, di negara penempatan seperti Taiwan, banyak PMI menghadapi tekanan kompleks: Jam kerja yang panjang, hambatan komunikasi akibat perbedaan bahasa, dan minimnya dukungan sosial karena jauh dari keluarga.
“Dalam kondisi ini, stres, kecemasan, hingga rasa kesepian menjadi masalah umum yang kerap terjadi, namun sulit diungkapkan,” urainya.
Sayangnya, isu kesehatan mental ini sering dianggap sepele atau bahkan tabu untuk dibicarakan, baik di antara sesama PMI maupun di komunitas sekitar. Akibatnya, banyak dari mereka yang memilih diam dan memendam beban secara pribadi.
“Rata-rata PMI masih menganggap masalah kesehatan mental sebagai hal tabu, karena mereka tidak ingin dianggap lemah atau tidak baik-baik saja. Bahkan, permasalahan yang mereka bawa dari Indonesia seperti konflik keluarga, keterbatasan lapangan pekerjaan, dan tekanan ekonomi justru memperparah kondisi saat mereka berada jauh dari tanah air,” tuturnya.
Menurut Emil, minimnya intervensi yang secara khusus menyasar aspek psikologis PMI menunjukkan bahwa pendampingan dan edukasi dalam isu ini sudah sangat mendesak.
“Kami memulai dengan pre-test, lalu menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan psikolog dari PCIM Taiwan untuk mendengarkan langsung keluh kesah 30 PMI yang dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setelah itu, mereka mengikuti post-test untuk melihat dampak program terhadap pemahaman dan kesiapan emosional mereka,” ungkap Emil.
Hasil post-test menunjukkan respons yang sangat positif. Para peserta mulai menyadari bahwa merasa tidak baik-baik saja bukanlah hal yang memalukan. Sebaliknya, mereka merasa lebih berdaya karena mulai memahami cara-cara sederhana untuk meminimalisasi stres, kecemasan, dan kesepian.
“Para PMI berharap kegiatan serupa bisa dilakukan secara berkala. Mereka butuh ruang untuk bercerita tanpa merasa dihakimi,” ungkapnya.
Emil menyebut melihat kondisi yang ada, pihaknya juga merancang kolaborasi lanjutan bersama PCIM Taiwan untuk membentuk wadah edukasi dan pendampingan emosional.
“Ke depannya, kami juga akan mengembangkan aplikasi konsultasi psikologis daring untuk menjangkau lebih banyak PMI,” katanya.
Emil mendorong agar isu kesehatan mental tidak lagi menjadi pelengkap, melainkan bagian integral dari perlindungan pekerja migran, selain aspek hukum dan ekonomi. Untuk itu ia menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap isu kesehatan mental PMI secara sistemik.
“Sudah saatnya pemerintah memasukkan isu kesehatan mental dalam kampanye dan kebijakan perlindungan PMI. Mereka adalah warga negara yang juga punya hak untuk sehat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional,” tegasnya. (Wur)