Sepanjang Baratayuda, perang suci dalam mengembalikan tahta Astina kepada pemiliknya, semakin sengit. Keras, pedas, dan berlumur tragedi.
Oleh: Ki Bawang Dalang tanpa wayang
Jumlah korban terus bertambah, sementara pameran kebencian terjadi di setiap sisi kehidupan. Kurawa dan Pandawa berhadap-hadapan dengan senjata siap menerjang.
Episode demi episode Baratayuda sudah dilewati dengan tumbal yang sangat menggiriskan. Anak-anak Pandawa nyaris tanpa sisa. Begitupun Kurawa yang hampir habis dijemput maut. Tinggal Prabu Sutudana tang tersisa dari Kurawa. Ia muncul dalam cemas karena sadar, dikejar oleh dosa-dosanya selama menjadi pengendali Astina. Ia bersembunyi di balik porak-porandanya peperangan.
Sementara itu, di Pertapan Grojogansewu, Wasi Jaladara masih bersemadi. Ia memang sengaja dipisahkan dari prahara Baratayuda. Padahal Kurawa dan Pandawa sama-sama membutuhkan Jaladara ya Kakrasana ya Baladewa, raja Mandura yang sudah lengser dan bertapa di pertapaan Grojogansewu. Kemunculan Jaladara memang ditunggu siapa saja, karena ia yang telah dipilih alam semesta untuk mengakhiri perang saudara trah Kuru.
Dan, begitulah. Menjelang akhir Baratayuda, seperti yang diharapkan, Jaladara muncul. Ia memang sengaja dibangunkan dari semadinya oleh Sri Prabu Batara Kresna, seperti janji Kresna memberi kesempatan pada Sang Jaladara untuk menyaksikan detik-detik akhir Baratayuda. Rakyat Amarta bergemuruh melihat Baladewa sudah kembali.
Rakyat itu, adalah mereka yang tidak menjadi korban Baratayuda. Rakyat yang amat berharap perang besar itu segera berakhir, karena sudah terlalu banyak mereka berkoban demi membela keyakinannya masing-masing: keyakinan sebagai rakyat Kurawa atau rakyat Pandawa.
Baladewa membalas lambaian rakyat dengan senyuman. Wajahnya sudah mulai menua, meski keperkasaan masa Jaya sebagai Kakrasana tetap tak hilang. Ia berjalan diiring Kresna ya Narayana. Mereka mencari Prabu Duryudana, Kurawa yang tersisa untuk diajak menyudahi perang, meski dengan sisa-sisa kekuatannya Kurawa terus menggempur Pandawa.
Okelah. Saya menulis kembali babak akhir Baratayuda karena inilah saat-saat paling mendebarkan, sebelum perang benar-benar memuncak. Saya menulis ini untuk melukis suasana kebatinan rakyat yang baru coblosan. Perang habis-habisan terjadi, saling menyerang, gempur-menggempur, lapor dibalas lapor, kutuk berbalas kutuk. Suasana itulah yang saya yakin membuat batin rakyat lelah dan ingin semua ini segera berakhir. Sebab dengan begitu, mereka akan bisa hidup lebih damai, tenang, dan saling mengasihi.(*)