Tiba-tiba arah aliran sungai serang berbelok ke barat, kemudian memutar berlawanan arah jarum jam, sebelum akhirnya bermuara ke laut di Desa Glagah/Karangwuni. Ini tidak lazim pola aliran sungai di daerah muara, dengan morfologi datar dan jenis tanah relatif sama. Kenapa demikian?
Diduga pada awalnya arah aliran Sungai Serang lurus ke selatan (lihat Gambar 1). Bekas sungai lama terlihat dari citra satelit (yang apabila di zoom) nampak sawah dengan pola lurus, di sisi barat dan timur banyak tumbuh rumah, dan terlihat adanya sisa aliran sungai kecil yang difungsikan untuk irigasi.
Adapun aliran sungai ke barat sepanjang ±4,6 km, diduga bukan sungai alam tetapi buatan manusia, ini dicirikan dengan bentuk relatif lurus dan tanggul tinggi, Sungai ini diduga dibangun oleh pemerintah Belanda, bersamaan dengan pembuatan Pintu Air di Desa Bojong, namun tahunnya tidak diketahui (angka tahun yang biasanya ada sudah hilang).
Sebelum sampai ke laut, arah aliran, sengaja dibelokkan ke utara, kemudian diputar berlawanan arah jarum jam. Hal ini dimaksudkan untuk meredakan/mengurangi kekuatan arus sungai sebelum tiba di muara. Teknologi pengairan memang sudah dikenal maju di negeri Belanda.
Pembelokan/pemindahan arah aliran sungai diduga untuk mengurangi luapan banjir yang sering terjadi di wilayah selatan. Tujuan lain, diduga di daerah selatan yang dulunya rawa-rawa dikeringkan untuk perkebunan tebu. Cerita orang-orang tua, dulunya di daerah selatan (Desa Pleret dsk) memang ditanami tebu, hasilnya diangkut ke pabriknya di daerah Sewu Galur.
Pabrik gula Sewu Galur di wilayah Adikarto (Kulon Progo), didirikan dengan cara menyewa tanah Pakualaman (Pakualaman Ground) kepada keluarga bangsawan Pura Pakualaman. Pabrik gula Sewugalur merupakan peninggalan salah satu perusahaan Belanda, secara administratif saat sekarang terletak di Desa Galur, Kecamatan Brosot, Kabupaten Kulonprogo, didirikan pada tahun 1881 M. Bekas pabrik gula dan perumahan administraturnya masih dijumpai hingga sekarang.
Kebijakan Tanam Paksa (cultuurstelsel) pemerintah Hindia Belanda (1830 –1870) memberikan keleluasaan untuk melakukan tekanan atau bahkan memaksa kepada pribumi harus mengganti tanaman padi dan palawija dengan tanaman tebu. Kebijakan Tanam Paksa berakhir tahun 1870, beralih ke Sistem Liberalisasi, dimana peran swasta mulai intensif dengan tanaman tebu masih menjadi unggulan.
Baik pada periode Tanam Paksa maupun Liberalisasi, pada dasarnya petani harus Kerja Paksa beberapa jam di perkebunan tanpa mendapatkan upah. Kerja Paksa tidak hanya dalam penanaman tebu, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur yang terkait, seperti system pengairan. Itulah kekejaman Belanda, tanam paksa dan kerja paksa di Tanah Adikarto yang sekarang bernma Kulon Progo (Rujukan: Ign. Eka Hadiyanta dan Th. Sri Suharini – Staff BPCB DIY)