Pakuwon Glagahtinunu dan Randuwatangan diselimuti suasana panas-dingin. Posko pemenangan Kurawa dan Pandawa itu, sudah habis-habisan. Sementara Baratayuda masih belum usai. Dan, perang harus dilanjutkan.
Pandhita Durna kehilangan harga diri di depan para Kurawa setelah ia tak dipercaya. Apalagi Aswatama juga diusir oleh Prabu Salya. Tapi ia tak menyerah. Ia tetap maju perang, menyusun strategi, mempersiapkan gelar pertempuran. Termasuk memanggil Bogadentha yang mandraguna. Apalagi jika sudah maju perang dengan gajah Murdaningkung dan pawangnya yang cantik, Murdaningsih.
Begitulah. Kurusetra kembali bergolak. Bimasena dan Arjuna maju memimpin Pandawa. Sedang Kurawa disenapateni Pendita Durna ya Resi Kumbakarna yang digdaya. Tapi pertempuran yang segera menyita perhatian adalah antara Arjuna ya Janaka ya Permadi dengan trio sakti: Murdaningsih-Murdaningkung-Bogadenta.
Setiap kali Arjuna mampu membinasakan salah satu di antara mereka, kematian gagal terjadi setelah ditangisi. Gajah Murdaningkung mati seketika dihujam panah Janaka, tapi hanya beberapa saat saja. Setelah airmata Murdaningsih jatuh di tubuh gajah, binatang itu bangun dan mengamuk lagi.
Di tempat lain, Bogadentha juga hidup lagi setelah dibinasalan Bima ya Sena ya Werkudara. Bogadentha bangun dari kematian setelah ditangisi Murdaningsih. Juga, Murdaningsih sulit dibunuh karena bisa hidup lagi begitu ditangisi Bogadentha.
Tinggal Bima dan Arjuna yang kebinginggan melihat kejadian ini. Mereka berlari mencari Sri Kresna untuk minta petunjuk dari botoh Pandowo itu. “Pecah kesaktian mereka dengan cara dibunuh berjauhan. Atau, binasakan ketiganya secara bersama,” Kresna berkata.
Benar saja. Arjuna memilih mengambil tiga panah dilepas sekaligus untuk membunuh ketiganya seketika. Dan, sudah menjadi kehendak dewata, Bogadentha-Murdaningsih-Murdaningkung, tiga kekuatan yang menakutkan jika bersatu, bisa dipecah kesaktiannya. Legalah Arjuna meski merasa sayang, harus membunuh Murdaningsih yang cantik-liar mempesona hatinya.(*)