Menikung ke tenggara, belok kanan arah Toyan, terus belok kiri lurus sampai Mbonagung. Bertemulah di perempatan, lalu belok menekuk ke kanan, menyusuri Jl Ki Hadi Sugito.
Lurus, nanti akan bertemu dengan Sasanalaya Genthan Tayuban Panjatan. Tidak terlalalu sulit, apalagi yang membawa kendaraan sendiri. Apalagi petujuk arah menuju makam juga sangat jelan.
Sampai di Pajimatan Genthan, suasana adem menyambut. Plang besar menggantung di tiang bercat hijau. Plang itu menunjukan arah makam Pak Gito. Ditulis dengan warna putih di atas dasar cokelat, ada lukisan dalang kondang kesayangan masyarakat Kulon Progo itu. Nama Ki Hadi Sugito tercetak palingbesar, lalu di bawahnya, tulisan nama Ki Hadi Sugito dalam huruf Jawa.
Di bawah huruf Jawa itu, ada tanggal kelahiran Pak Gito, 10 April 1942. Di bawahnya lagi ada tulisan Prestasi yang menyebut: dalang kesayangan sejak 1986, sang maestro, serta tanggal wafatnya, 9 Januari 2008.
Memasuki area pesarean, tidak ada yang istimewa. Pusara Pak Gito ada di tengah-tengah pemakaman umum. Di sebelah kiri, tempat sang ayah, Ki Widi Tupar, berbaring abadi. Di sisi kanan kijing Ki Widi ada tungku pembakaran kemenyan yang dengan sisa arang yang masih terlihat baru. Lalu, di samping kanan Pak Gito ada nisan mungil.
Sementara itu, di sekililing makam, nisan-nisan yang beragam, termasuk yang dibuat dari porselin warna-warni. Nisan Pak Gito terbuat dari batu, berwarna legam, dengan ukiran bunga. Yang agak membedakan, di atas nisan, ada semacam mustoko.
Jika dilihat dari sisi selatan (jadi kita menghadap ke utara) di pangkal nisan itu, tertulis tanggal lahir Ki Hadi Sugito. Tapi bukan tanggal 9 April 1942, melainkan 31 Desember 1942.
Di atas batu nisan itu, ada serpihan kembang bekas orang ziarah. Sudah mengering, menandakan bunga itu sudah agak lama. Dan, hari ini, di hari kelahirannya, nyaris tidak ada yang datang ke pusaranya.
Saya jongkok, melafalkan doa, mengirim surat-surat pendek untuk sang maestro. Seperti umumnya orang Kulon Progo, Pak Gito adalah sumber kekaguman penikmat wayang. Juga saya. Setelah berdoa sejenak, saya beranjak dengan mengusap kijing, dan meninggalkan Sasanalaya Genthan.(meidi)