Sewindu Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

oleh -81 Dilihat

Oleh :  Gunoto Saparie

Sewindu sudah berlalu sejak Indonesia, dengan napas yang tertahan panjang, akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Suatu hukum yang datang terlambat—tetapi juga, dalam cara yang lain, datang dengan semacam kematangan sejarah. Ia lahir dari kegigihan waktu, dari kehendak yang tak putus-putus disuarakan sejak 1982. Bayangkan, 35 tahun hanya untuk menyepakati bahwa budaya bukan sekadar hiasan, bukan pernak-pernik di sudut panggung nasional, melainkan fondasi tempat bangsa ini berdiri.

Ada optimisme yang pelan tetapi tegas mengalir dalam undang-undang itu. Ia menulis ulang cara kita memahami peran negara dalam kebudayaan: bukan lagi sebagai pengendali arah, tapi sebagai pelayan. Pemerintah bukan lagi aktor utama yang memerintah dari panggung, tapi fasilitator yang memberi ruang agar suara-suara dari pinggir bisa naik ke tengah. Kebijakan budaya tidak lagi dibentuk berdasarkan apa yang dianggap baik oleh kuasa, tapi oleh keberanian masyarakat untuk menentukan makna budayanya sendiri.

Dan itu bukan hal sepele. Sebab terlalu lama kita menyaksikan kebudayaan dijinakkan dalam kerangkeng politik dan birokrasi. Dianggap indah hanya bila selaras dengan narasi kekuasaan. Padahal kebudayaan, sejatinya, adalah ruang kegelisahan yang tidak bisa dipaksa duduk diam. Ia tumbuh dari pertanyaan, dari benturan, dari kelindan sejarah yang tak selesai. UU Pemajuan Kebudayaan seperti ingin membuka kembali ruang itu—bahwa kebebasan masyarakat dalam memelihara nilai-nilai budayanya bukan anugerah dari negara, tetapi hak yang dijamin konstitusi.

Akan tetapi, seperti kerap terjadi dalam republik ini, harapan selalu diiringi kecurigaan. Bahwa apa yang baik di atas kertas tak selalu menemukan jalannya di dunia nyata. Bahwa niat luhur bisa runtuh di tangan kekuasaan yang tak sabar, atau anggaran yang sempit.

Tahun 2025 semestinya menjadi tonggak penting. Sebab untuk pertama kalinya, kebudayaan memiliki kementerian sendiri—bukan lagi sekadar direktorat jenderal yang menumpang pada kementerian pendidikan. Tiga direktorat jenderal dibentuk: satu untuk pelindungan dan tradisi, satu untuk diplomasi dan kerja sama, satu lagi untuk pengembangan dan pembinaan. Ini bukan semata pembesaran birokrasi; ini mestinya tanda bahwa negara mengakui kompleksitas dunia kebudayaan, dan siap mengurusnya dengan lebih saksama.

Akan tetapi, tanda itu pudar begitu kita melihat angka. Pagu anggaran awal Kementerian Kebudayaan yang mencapai Rp2,3 triliun dengan enteng dipangkas jadi Rp900 miliar. Setelah negosiasi, naik sedikit jadi Rp1,1 triliun. Masih kalah jauh dari angka Rp1,7 triliun saat ia masih berstatus direktorat di tahun sebelumnya. Ini bukan hanya penurunan nominal, tapi juga penghinaan simbolik: kementerian yang mestinya menandai kemajuan, justru diberi sumber daya lebih kecil untuk bekerja.

Lebih Sedikit Program

Apakah artinya ini bagi pelaku budaya? Apa artinya bagi seniman di pelosok, bagi komunitas adat yang sedang menggenggam warisan leluhur mereka di tengah arus modernisasi? Artinya sederhana: lebih sedikit program, lebih sempit dukungan, dan lebih besar kemungkinan bahwa budaya sekali lagi akan menjadi beban dalam neraca ekonomi, bukan investasi dalam peradaban.

Lebih buruk lagi, sebagian besar anggaran yang terbatas itu akan habis untuk belanja birokrasi. Kita membangun rumah baru, tetapi tak punya cukup bahan untuk mengisinya. Meja kosong, jendela tak terpasang, dinding-dindingnya bergema kehampaan.

Maka, kita sampai pada ironi. UU Pemajuan Kebudayaan berbicara tentang masa depan, tentang potensi budaya sebagai kekuatan bangsa. Tapi pada praktiknya, kita justru menyaksikan penarikan kembali—pengekangan diam-diam atas janji-janji yang dulu dilafalkan dengan gagah.

Goethe pernah berkata, “Kebudayaan adalah apa yang tinggal ketika semua hal telah dilupakan.” Tapi hari ini, tampaknya kebudayaan adalah hal yang dilupakan, bahkan sebelum hal lain lenyap.

Ini berarti, evaluasi terhadap pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan tidak cukup hanya mengukur program dan angka serapan anggaran. Evaluasi sejatinya adalah pertanyaan yang kita ajukan ke nurani bangsa ini: apakah kita sungguh percaya bahwa budaya adalah nadi kita, atau hanya gincu yang kita pakai kala berpidato?

Kita tahu jawabannya belum pasti. Tapi selama pertanyaan itu terus diajukan—oleh seniman yang tetap mencipta, oleh masyarakat yang terus merawat tradisi, oleh mereka yang menolak lupa—maka kita tahu bahwa semangat undang-undang itu masih hidup. Bahkan jika negara sendiri tampaknya belum siap menghidupinya sepenuhnya.(*)

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.