Hari ini, 3 April 2018. Pada penanggalan Jawi, tanggalnya 17 Rejep. Hari pasaranya, Seloso Pon. Berada dalam wuku Wukir, di tahun Dal.
Selapan ndino meneh, atau 35 hari lagi, masyarakat tradisional Jombokarto (nama Jombokan di kalangana penggiat sosmed) akan menggelar upacara Nyadranan. Taggal persisnya, 8 Mei 2018 atau penanggalan Jawi, 22 Ruwah 1951. Dinone pasarane Seloso Pon.
Dalam naungan wukul Warigagung di tahun Dal, nyadaran di Jombokan dimulai dari Makam Mbanaran, tempat Eyang Singosari atau Eyang Sorokusumo dipusarakan. Masyarakat Jombokan, Bujidan, sebagian Soronanggan, Silowok Lor-Kidul, atau Kopok Kulon, bersiap mengikuti ritual tahunan itu.
Dikomando para pinisepuh, rangkaian Nyadran diwiwiti bersih-bersih makam. Pusara para leluhur yang biasanya agak telantar, pada bulan Ruwah, dibuat bersih. Rerumputan dibabat, nisan yang kusam digosok, pagar makam dicat ulang. Reresik pajimatan poro leluhur itu dilakukan gotong-royong dalam suasana guyup.
“Ya ini kan mau Puasa, sudah tradisi dari jaman dulu, kita diajarkan berziarah ke makam leluhur. Kalau di dusun Jombokan, reresik makam dimulai sebelum Nyadranan,” kata Mbah Kemat, salah seorang sesepuh desa yang paling giat melestarikan tradisi Nyadran.
Dulu, di era 80an, Nyadran adalah kegembiraan yang ditunggu anak-anak. Mereka menyebutnya Cureng, kependekan dari kacu dijereng. Nama itu muncul dari para nom-noman kala itu, karena semua orang yang ikut kenduri Nyadran, membawa kacu besar atau sapu tangan ukuran besar. Kacu itulah yang dijereng alias dibentangkan untuk membawa besek, tempa nasi dan ubo rampe lainnya, dibawa pulang.
Bagi para perantau, tradisi Nyadran juga membawa kebahagiaan yang nostalgi. Mereka akan pulang kampung untuk ikut ngumpul, kenduri di depan pemakaman. Biasanya, Nyadran adalah upacara tradisi yang sangat diperloke, diperlukan, diprioritaskan, terutama buat mereka yang pada hari raya Idul Fitri tidak bisa mudik.
“Suasananya gayeng dan bisa sambil mengenang jaman kecil. Biasane nek Lebaran tidak bisa pulang, pasti merloke pulang pas Nyadaranan,” kata Maswin, seorang perantau super sibuk yang tidak pernah ketinggalan ikut Nyadranan di makam Mbujidan.
Benar. Mbujidan adalah makam ketiga yang menggelar tradisi Nyadran. Sejak dulu, entah dimulai dari kapan, Nyadran memang selalu dimulai dari Makam Mbanaran, lalu, Makam Kauman, dan ketiga di Makam Mbujidan.
Nyadranan, bagi masyarakat Jombokan dan sekitarnya, tentulah bukan sekadar genduren. Ada makna yang jauh lebih dalam. Apalagi, beberapa hari setelah bulan Ruwah berakhir, umat Islam memasuki Ramadhan yang merupakan bulan suci yang semestinya dijalani dengan serba bersih.
Tapi andaipun tidak ingin repot ngudari arti Nyadran, inilah perayaan kecil masyarakat Jombokan, yang lestari hingga kini. Semua akan berkumpul, memikul pengaron yang berisi makanan lengkap dengan ingkung dan ubo rampenya. Buat yang tidak sempat membawa pengaron, cukup membuat apem, lalu dibawa dengan nampan blek kembang-kembang.
“Dulu, yang legendaris apem dumbo. Gedi-gedi tur nyamleng rasane,” kata Kang J, generasi 70an yang kini menjadi salah seorang pelestari tradisi Nyadranan.(mg)