Parangkusumo-9: Bertetirahlah, Mesuraga, Hening-wening

oleh -229 Dilihat
oleh

Untuk mencapai kaki tebing, tempat yang sisa kecipak ombak menerpa wajah, pertolongan yang diandalkan hanya kemujuran. Sebab, alat-alat keselamatan yang tersedia hanya akar pohon atau tonjolan tebing.

Ada empat tangga, tapi tidak cukup menjamin keselamatan, oleh sebab tangga-tangga itu kelewat bersahaja. Dulu ada pula besi, namun sudah ditinggalkan, karena berkarat, aus tergerus asin air laut. Para tetua setempat, menyarankan, berlakulah seperti cicak, merayap, merapat ke dinding. Sebab, saat itu, peziarah sedang memasuki Batu Gedeg. Perjalanan bagai cicak, terus dilakukan, sampai melewati tonjolan tebing yang disebut Bokong Semar.

Sungguh sebuah trek pendakian yang menguras rasa ngeri, meski tidak sedang menakhlukan ketinggian gunung. Selebihnya, yang utama, untuk menjaga keselamatan, sudah pasti izin Kanjeng Ratu Kidul, untuk sowan di pertapaannya.

Perjalanan fisik selesai di mulut goa. Tapi segala yang menakutkan, masih belum tuntas. Karena, setelah itu, akan segera memasuki alam lain, dalam semadi. Sebaiknya, sebelum duduk menghadap istana pantai selatan, berdialog dengan penguasa gaib laut kidul, bersesucilah. Ada mata air yang tidak asin atau payau karena mengandung kapur. Segar, sekadar pengendur ketegangan saraf tubuh.

Nah, usai bersesuci, bergeraklah sedikit, di sebelah mata air itulah, tempat persemadian. Goa Langse memang terasa mengalirkan harmoni batin. Panjang goa sekitar 30 meter, dengan lebar 10 meteran. Langit goa, berhias pisau-pisau karang setinggai 20 meter.

Maka begitulah. Perjalanan telah sampai di tempat indah kesukaan Kanjeng Ratu Kidul dan Kanjeng Panembahan Senapati. Bertetirahlah. Mengosongkan cipta, mesu raga, memusatkan pikiran, hening-wening. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.