Saya menaburkan kembang, dalam suasana batin yang hening. Setelah menyembah, saya beralih ke batu karang di depannya. Kembali, hal yang sama saya lakukan. Setelah itu, beranjak, menemui kembali jurukunci, yang masih di atas tikar, melihat semua yang saya lakukan.
Dalam berbisik, untuk menjaga kesopanan, saya berbincang dengan Surakso Jaladri, sambil tangan menaruh uang di dalam kotak kecil, di sisi kanan padupan. Uang itu, sebagai wajib (istilah atau sebutan untuk infak seikhlasnya).
“Banyak yang datang ke sini. Setiap hari, pasti ada. Macam-macam orang yang datang, membawa keinginan sendiri-sendiri,” kata jurukunci yang bergelar Mas Bekel Sepuh Surakso Jaladri.
Hari-hari ini, jurukunci memang sibuk. Sebagai tempat keramat, Cepuri Parangkusumo memang selalu menjadi tujuan para pencari keberkahan. Mereka mengatakan, ngalap berkah. Tidak hanya pajebat yang ingin naik pangkat, pedagang juga sangat banyak, yang ingin dagangannya laris. Hari-hari ini, jurukunci memang sibuk.“Tidak hanya dari DIY, tapi juga dari luar-luar kota,” katanya.
Semua orang memahami, mereka yang datang ke cepuri, memiliki cita-cita. Para pemandu, termasuk ibu-ibu penjual kembang, akan dengan rela menunjukan jurukunci yang selalu siap membuka gembok dan melantarkan para peziarah.
Pada momen-moment tertentu, Parangkusumo juga menjadi langganan mereka yang berhasrat akan sesuatu. Termasuk, orang-orang penting yang dating tidak secara terang-terangan. Mereka akan nglimpeke atau menyamar. “Ya wajar saja, kalau banyak yang datang ke tempat ini. Wong, di sini memang tempat yang wingit,” kata jurukunci sambil membetulkan pecinya yang agak melorot ke dahi.
Benar. Raja sebesar Panembahan Senapati saja, bersemadi di tempat ini, sebelum menduduki tahta Mataram. Itu yang membuat tokoh-tokoh nasional, secara rahasia bertetirah di Cepuri Parangkusumo.“Ada orang dari Jakarta datang, orang terkenal. Pejabat, tapi saya tidak berani menyebutkan nama. Koran memang sudah ramai, mengatakan dia calon presiden,” katanya.(bersambung)