Pulang nonton Vivid Sydney, banyak yang ingin saya tulis. Terutama soal nonton wayang. Agak aneh memang, karena selama mandeng jenggleng (dua kata ini susah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang pas, tapi maksudnya melihat dengan seksama) pertunjukan cahaya itu, yang ada dalam bayangan saya adalah wayangan.
Dan, pas wayangan di Nganjir pada Rabu malam, 12 Juni 2019, yang ada dalam bayangan saya adalah suasana nonton Vivid Sydney. Agak tidak nyambung, karena ini dua budaya yang berbeda. Dan, tetap saja, saya kok merasa lebih nyaman nonton wayang. Lebih gayeng itu.
Rasanya, nonton wayang itu, aktivitas yang kok ya tidak tergantikan oleh apapun. Apalagi, yang sedang tampil adalah Ki Seno Nugroho, dalang muda yang kreatif.
Baik. Dalam tulisan ini, saya tidak akan melukis kisah ketrampilan Ki Seno (kalau soal ini, semua orang bisa bercerita lebih seru). Saya malah ingin memotret suasana Dusun Nganjir sepanjang hari Rabu itu, sejak pagi hingga menjelang wayangan di malam hari. Termasuk saat saya duduk khusuk, ikut ngaji bersama Kiai Nur Kharir, ulama ternama dari Pengasih.
Memang, banyak hikmah yang yakinlah akan abadi mengisi hati, yang saya bawa dari Syawalan masyarakat Nganjir di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo tanggal 12 Juni 2019 itu. Juga, suasana yang berlangsung khidmad di bawah terik matahari Lapangan Nganjir, saat Kiai Nur Kharir memberikan tausyiah.
Hadir bersama masyarakat, Camat Kokap, Warsidi, Kapolsek Kokap, Danramil Kokap, Kades Hargorejo, dan para perangkat desa lainnya. Saya duduk bersama beliau-beliau itu, sebagai wong Nganjir.

Hingga lepas tengah hari, tidak ada yang beranjak mendengar tausyiah Kiai Nur Kharir. Menarik karena isi ceramahnya banyak mengena di hati masyarakat. Apalagi soal makna wayangan, karena malam harinya, masyarakat Nganjir akan nanggap wayang.
“Nek tak terangke filosofi gunungan iso tekan jam 2 ora rampung. Wayangan niku menawi dipun onceki apik tenan. Dan, tidak bertentangan kalih Islam wong niku sing ndamel poro wali,” kata Kiai dari Pengasih yang membuat jamaah betah lenggah sampai selesai.
Kiai Nur juga menerangkan arti tembang Macapat. Dari 11 nama tembang Mocopat, semua penuh makna: Maskumambang (fase dalam kandungan), Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung.
Selain wayang dan Mocopat, Kia Nur Kharir pun menguliti kupat yang dibuat Kanjeng Sunan. Maknanya bahwa menungso iku uripe angel. Dilambangkan seperti ketupat yang dibuatnya sulit penuh lekukan dan lingkaran tapi kalau sudah jadi, hasilnya menarik.
Kupat iku ngemu makna lelakon papat. Niku nopo? Luber, ngluberi fakir-miskin. Sak sampunipun luber malem Syawal wis dadi lebar, artine wes rampung le ngibadah poso. “Sing ping telu lebur dosane karo sepodo-podo. Kaping papat dadi labur, putih, resik. Kupat niku menawi bade didahar disigar dadi loro, sigarane podo, tegese podo-podo lebur ing dinten riyadi,” terang pak kiai.

Kiai Nur juga mengulas hikmah halal bi halal yang tradisi asli Indonesia ciptaan tujuh ulama ternama bersama Bung Karno. “Pak Karno iku nek musyawaroh Karo poro kiai, poro ulama. Mbah Bisri Samsuri punya usul karena suasana politik sedang panas, dibuat pertemuan semua masyarakat dan para tokoh setelah puasa,” kata Kiai Muhammad Nur Kharir dalam tausyiahnya.
Jadilah, usai Ramadhan, digelar acara pertemuan massal yang disebut Halal bi halal untuk pertama kalinya. Itu terjadi di tahun 1948. Presiden Soekarno mengundang masyarakat, ulama, tokoh bangsa, serta para politisi untuk berhalal bihalal. “Sebutan halal bi halal itu asli buatan ulama kita,” demikian tegas pak kiai. (*)