Ngadeg jejeg nang ngarep Pasar Mbringharjo, rasane koyo mlumpat, terus anjlog digowo angin tekan zaman mbiyen. Suasana riuh pembukaan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2018, tak mampu menghilangkan bayangan masa silam.
Benar. Itu terjadi saat beribu-ribu cepetan, topeng-topeng berupa-rupa warna, melintas setapak demi setapak di sepanjang jalan Malioboro. Saya agak mengkeret, ngumpet, bersandar pada tembok Pasar Mbringharjo dekat pintu utama yang disesaki orang.
Bayangan masa lalu saat ketakutan melihat cepetan (salah satu tokoh menakutkan dalam seni tradisi Jatilan Ngepakan) timbul-tenggelam. Ingatan membuat dada saya sesak tiba-tiba. Apalagi, mendengar tetabuhan yang khas jathilan. Magis dan membuat merinding.
Niat melihat arak-arakan pembukaan FKY, menjadi anti-klimaks, jalaran wewayangan medeni dari masa silam. Saya ingat saat dikejar tanpa ampun oleh cepetan lanang jathilan Ngepakan yang super seram itu. Sampai saat ini, bayangan rasa takut tak pernah bisa dihapuskan.
Selalu sangat segar dalam ingatan, saat itu, jathilan Ngepakan sedang ditanggap Mbah Marto di wetan SD Janturan Siji. Antara berani dan takut, saya ikut mendekat begitu jathilan dimulai. Tapi belum juga menemukan tempat aman, sudah terjadi gegeran karena ada yang ndandi. Kerumunan bubar, saya ikut terdorong ke belakang.
Nah, di tengah posisi tidak siap, dorongan kuat itu membuat jatuh. Lalu, tiba-tiba saja, cepetan lanang yang berwarna merah dengan kumis tebal dan gigi mrenges menakutkan, menghampiri. Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa selain berlari sekecang angin.
Dan, sekarang, di depan Pasar Mbringharjo, ingatan buruk masa lalu itu, datang membawa momok menakutkan. Saya benar-benar terteror oleh perasaan sendiri, sampai akhirnya berlari (mungkin sekencang saat saya didatangi cepetan di latare Mbah Marto, puluhan tahun silam). Bergerak ke belakang pasar, menghindari suara bende yang mengiringi jathilan.
Sudah. Niat menikmati tontonan berkualitas, ambyar. Saya ngilang sampai benar-benar mampu menghapus kenangan masa silam yang seram. Setelah itu, memilih duduk nglesot di pinggir jalan, meredakan hati, tanpa mempedulikan suasana yang belum ditinggalkan keriuhan.
Kedarang-darang, mlayu-mlayu ngoyak wektu, akhirnya terdampar di masa silam. Dasar nasibe lagi apes. Sampai mau magrib saya hanya bisa menikmati Jogja menjelang malam. Sementara sisa keramaian masih seperti terserak saat saya menuju titik nol yang padat.
“Kowe nangdi dab, cah edan mlayu koyo wong kenthir. Ngoyak opo kuwi mau?” Kang Yanu misuh-misuh saat janjian ketemu nang ngarep Gedung Agung. Ia seperti tak mau berhenti ngomel-ngomel. Kalimat pisuhannya seperti kurang golek entek apek. Dan, saya hanya diam saja.
Kang Yanu memang seperti itu, sejak pertama saya kenal puluhan tahun lalu di pinggiran Jl Fatmawati Jakarta Selatan. Ia bertahun-tahun nyeniman, tapi selalu kecewa oleh keadaan. Mutungan dan cepat misuh.
Sekarang dia memilih mengubur mimpi-mimpinya dan jadi gelandangan yang sebenarnya. Hidup hanya mengandalkan sawah tinggalan leluhurnya di Kulon Progo. Tapi sesekali, ia masih manut kalau saya paksa untuk nemani nonton kesenian. Paling-paling upahnya adalah segepok novel-novel lama yang saya bawa dari rumah.
Sambil masih misuh, dia menyeret saya bergerak meninggalkan tritisan Gedung Agung. Magrib mengundang untuk datang ke Mesjid Gede. Jadilah, dengan sisa tenaga, saya mengikuti langkahnya yang tetap gagah, menggambar jejak tenaganya yang tak pernah habis digerogoti usia.(*)