Sore-sore, di antara rinai gerimis, sampailah kaki di Puncak Suroloyo. Inilah pucuk tertinggi pengunungan Menoreh, tempat para dewa hidup dalam mitos dan keyakinan yang kuat di dalam batin. Patung punokawan menyambut bersama kabut.
Liputan Khusus: Meidi Gunawan & Agung Satria Nugraha
Di depan sang Punakawan, relief Batara Guru termangu di sore menuju jam 5. Kemarin, perjalanan memang sengaja ingin menikmati Suroloyo di senja hari. Dua kawan dari Jakarta, ingin menikmati Kopi Suroloyo yang kaloko itu. Sore-sore berteman Kopi Suroloyo memang menyenangkan. Tapi rupanya, kemarin sore, sudah terlalu petang untuk datang. Suroloyo sudah dipeluk senyap.
Yang kami tuju, tentu kedai kopi milik Mas Windarno. Dia seorang petani kopi, pemuda desa yang kreatif memopulerkan Kopi Suroloyo hingga hits di mana-mana. “Ke rumahnya langsung aja, orangnya baru pulang,” kata Mbokde yang membuka kois kelontong di muka parkiran belakang patung Punokawan.
Begitulah. Kami mundur dari puncak Suroloyo, kembali kea rah portal masuk, lalu menikung ke kiri, menusuk ke dalam lembah. Di sebuah turunan tajam, kami berhenti. Rumah mas Win ada di sisi kiri tikungan itu. Terlihat ada bangketan jurang yang baru diplester dengan semen. Sepertinya, keinginan Mas Win menjadikan rumahnya sebagai jujugan para pengopi sudah benar-benar dimulai, dengan membuat bangket.
Tidak lama, berlarian kecil, Mas Win datang menyambut. Mengarahkan parkir di sisi jalan yang tidak menganggu lalu-lalang penduduk. Seperti biasa, kerahaman segera terasa. Ia baru selesai membantu adiknya, mengudak semen, membuat gazebo atau gubuk-gubukan untuk menampung para penikmat Kopi Suroloyo.
“Robusta apa Arabika?” Langsung Mas Win menempati posisi di depan peralatan pembuatan kopi. Menghadap sebuah meja sederhana dengan tiga dingklik panjang, ruangan Mas Win ada di sisi kiri rumah utama. Sepertinya memang sudah disiapkan untuk menjadikan kawasan rumahnya itu menjadi tempat ngopi yang nyaman.
“Ini masih dalam proses, mudah-mudahan cepat selesai,” katanya sambil menyiapkan Arabika pesanan kawan kami dari Jakarta yang sepertinya paham betul cara menikmati kopi. Itu semakin terbukti saat ngobrol dengan Mas Win.
“Kalau penikmat kopi, ya ngopinya seperti ini. Bukan kopi model sasetan,” kata kawan dari Jakarta setelah menerima Arabika yang menjadi kopi andalan Kopi Suroloyo.
“Iya. Butuh proses panjang untuk bisa menikmati kopi seperti ini. Mulai dari pegel-pegel, mriang, dan seterusnya,” kata seorang penikmat kopi dari Parangtritis yang sore itu kebetulan sudah duduk lebih dulu di rumah Mas Win. Kami tertawa bersama, karena terbawa suasana yang hangat.
Sore itu, kami berempat ditambah, tamu dari Parangtritis yang sudah dulu datang, lalu dua tamu lagi yang baru bergabung, ngobrol panjang tentang cara menikmati kopi. Rasa-rasanya, menikmati puncak para dewa, ditemani Kopi Suroloyo, memang kebahagiaan hidup yang memuncak.(*)