Mengenang Brigjen Pol Wakin

oleh -4159 Dilihat
oleh

Masyarakat perantau Kulon Progo di Jabodetabek, berduka. Salah satu tokoh perantau yang dianggap sesepuh, sedho. Brigjen Pol (Purn) Wakin Mardiwiyono meninggal di RS Polri Kramatjati Jakarta, Selasa siang, 22 Agustus 2023.

Bagi perantau Kulon Progo, Brigjen Wakin, memang sosok yang menempati posisi tersendiri. Saat ini pun, laki-laki asli Sogan itu, menjadi anggta Dewan Penasehat Badan Koordinasi Perantau Kulon Progo (Bakor PKP), bersama tokoh-tokoh lainnya.

Untuk mengenang ketokohannya, simak profil Brigjen Wakin yang merupakan salah satu sosok penting dalam buku biografi tokoh Kulon Progo berjudul Menoreh Kiprah. Buku tersebut, terbit pada Oktober 2021, sebagai kado ulangtahun Kabupaten Kulon Progo. Pak Wakin dan 22 tokoh, masuk dalam buku seri pertama Tokoh Kulon Progo yang diterbitkan oleh Kabarno.com.

***

Kamis pagi 23 September 2021, menjadi Kamis pagi yang menyenangkan bagi tim Sahabat Ngopi. Dari Alamsutera Tangerang, Mbahyatno sudah dari sangat pagi mampir nyamper ke Ciledug. Menunggu Pak Mudal, saya dan sesepuh KPDJ itu, cerita banyak soal, termasuk tokoh Kulon Progo yang akan kami sowani.

Sebelum jam 10 pagi, bertiga, kami sampai di pesisir utara Jakarta. Ini bukan sembarangan pesisir karena telah disulap menjadi Kawasan elit yang super metropolitan: Pantai Indah Kapuk.

Masih ada waktu beberapa saat, karena kami janjian dengan Brigadir Jenderal Purnawirawan Polisi (Brigjen Pol) Wakin, tepat jam 10 pagi. Mbahyatno masih sempat minta berhenti di sebuah sudut PIK untuk menghampiri tukan jual kopi. Anak muda dengan sepeda motor yang terasa kontras dengan suasana kota serba megah itu.

Saya yang tidak ngopi, memilih nunggu di mobil. Juga Pak Mudal. Ada sebotol air mineral yang rasa-rasanya sudah cukup bagi saya. Jadilah, Mbahyatno yang kondang sebagai tokoh muda Kulon Progo ini, menyeruput kopinya sendiri. Seperti biasa, kopi dalam gelas plastik.

“Ini bukan kopinya yang penting. Tapi berbaginya kepada mas-mas penjual itu,” kata Yatno Alimonsa yang pergaulannya luas.

Mendengar celetukan itu saya tidak heran, karena memang seperti  itu sifatnya. Selalu tidak tega melihat orang kecil. Apalagi mas-mas penjual kopi yang terlihat minggir-minggir di jalanan yang tidak ramai, mungkin menghindari razia para petugas.

Oke. Jam 10 teng. Kami masuk sebuah Gedung megah tidak jauh dari pintu keluar tol PIK. Kantornya pak Wakin setelah purna tugas sebagai anggota Polri. Sudah barang tentu, pria kelahiran Sogan, Wates, Kulon Progo itu, sudah menunggu.

Seperti biasanya, keramahan segera menyambut. Menggenakan busana putih yang dipadu jeans serta sepatu kets, Pak Wakin terlihat sehat dan awet muda, meski pada 7 Desember 2021 nanti, usianya sudah memasuki 62 tahun.

***

ORANGTUA saya asli Sogan. Tapi berdasarkan cerita dari simbah-simbah, para leluhur kami, termasuk bukan orang-orang biasa. Mohon maaf saya tidak menyombongkan. Mbah saya masih demang. Tak urutkan ya. Bapak saya Mardiwiyono, tanpa jabatan. Lalu Mbah Kromotaruno, seorang lurah. Mbah Wirosantiko, jabatannya demang.

Semakin ke atas, garis darah birunya, konon, semakin kental. Ada Mbah Cosetiko. Kemudian, Suroyono. Di atasnya lagi ada Eyang Bawang Segentgong.

(Saat Pak Wakin cerita tentang Bawang Segenthong, saya menyambung bahwa pusaranya ada di belakang rumah saya di dusun Jombokan, Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo. Dan, Pak Wakin kaget)

Ah yang bener.

Ya ampun, jadi gemeteran. Saya sudah mencari pesarean beliau itu dari tahun lalu, tidak ketemu-ketemu. Bener itu yang tak sebutkan tadi itu dari bapak. Dari simbok ada lagi, tapi tidak ada yang nelusuri, jadi sudah mati obornya.

Bapak saya kalau orang berduit, masih pakai raden mas. Masih. Tapi saat saya tanya-tanya, jawabannya sederhana saja, “untuk apa.” Jadi tinggal sisa satu, mbah lurah Sogan itu masih pakai gelar kebangsawanan.

Bapak saya itu, sebenarnya dulu jadi KKO, marinir kalo sekarang. Marinir yang pasukan tidak berani mati. Waktu agresi militer Belanda di Jogja, bapak lari. Pulang kampung, baju dibakar semua. Masih sisa celana. Memilih lari, katanya daripada dibunuh.

Jadi waktu kecil, saya senang wayang. Biasa nonton wayang. Malah, dulu, waktu kecil saya belajar karawitan. Pegang kendang. Kendang sama demung. Inget saya, yang sampingnya gong itu.

Bisa menjadi seperti sekarang ini, saya merasa alhamdulllah dari basik saya anak petani yang pagi mencari makan sore habis. Saya tidak mimpi. bercita-cita pun enggak. Cita-cita saya dulu ingin jadi guru, kayaknya enak jadi guru.

Sejak SD, SMP, sampai SMA saya di Kulon Progo. Saya sekolah di SD 1 Sogan, yang dulu di pinggir jalan raya. Karena nilainya bagus, langsung diterima di SMP Negeri 1 Wates.  Di SMP juga sama. Bagus. Jadi bisa masuk SMA Negeri 1 Wates tanpa test.

Saya dijuruskan ke Paspal. Setelah lulus SMA 77, saya daftar di UGM dan diterima di Fisika. Sudah kuliah di situ. Tapi kemudian, mikir-mikir, lihat ke belakang. Kondisi orangtua tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah, apalagi, kuliahnya tidak sebentar, pasti konsekuensi biaya juga akan tambah.

Akhirnya saya hanya satu semester. Lalu saya ingat ada om saya ada yang jadi polisi, pangkatnya merah-merah, Om Suwito. Ada lagi om saya, kok pangkatnya bagus, AKBRI. Baru tertarik. Om Sadiman, bintang dua juga. Lulus 81 di AKBRI.

Dari situ saya, punya keinginan. Cerita bagaimana AKBRI itu. Tanpa biaya, sekolah sampai lulus tanpa biaya, tanpa bayar. Sekolah langsung kerja/ Berangkat, saya mencoba. Saya minta dipandu. Dan, sekali daftar langsung lulus.

Saya keluar dari UGM. Daftar. Saya waktu itu daftar di Semarang. Padahal di Jogja ada, tapi saya tidak tahu. Berproses. Nengok di papan pengumuman, lulus. Saya ingat nomor pendaftaran saya, 147.   Terus dikirim ke Magelang. Nah di situ bertempur lagi, tes lagi. Tengok pengumuman, lulus. Wah seneng, jadi AKBRI.

Enam bulan pendidikan, ada penjurusan. Saya milih Angkatan Laut atau Angkatan Darat. Tapi karena hasil psikotes, dimasukkan ke polisi. Saya ingin pindah, tapi tidak bisa. Akhirnya ikut, berproses. Kira-kira setahun. Naik kopral.

Nah baru pindah ke Semarang tahun 79.  Itu untuk pertama kali taruna ditempatkan di kampus AKPOL Semarang yang lain masih di Sukabumi. Setelah berproses belajar, lulus, kebeteulan saya lulusnya nilai agak bagus. 30 besar. Jadi saya lulus AKBRI Kepolisian 83 itu tidak langsung dinas, tapi ditunjuk sekolah lagi di PTIK. Bingung kan, udah sekolah empat tahun, ditambah lagi dua tahun, wah sekolah mulu ini.

Lulus tahun 86. Setelah itu selesai, tugas di Jakarta. Di Jakarta Pusat waktu itu, jadi Kanit Serse. Di Jakarta pusat beberapa tahun. Setelah itu,  bertugas di wilayah timur. Di Papua. Lama, mulai dari 1986 sampai 1992 dengan berbagai jabatan: Pama Polda Irian Jaya, Kasubag Binops Sabhara Polda Irja, Kasat Serse Polres Jayapura, Kapolsek Abepura, Kapuskodalops Polres Jayapura.

92 pindah. Bukan ke Mabes, tapi pindah disuruh sekolah. Sekolah di Inggris, sekolah managemen kepolisian selama enam bulan. Balik lagi ke Jakarta, ditugaskan di Lemdiklat. Berangkat lagi ke Inggris.

Saya gak tugas ke wilayahan, sudah waktunya masuk Sespim. Keberuntungan saya, gak ada  tes, dipanggil sekolah Sespim. Waktu itu pas gejolak 98, saya agak bagus juga nilainya.10 besar. Nomor satu pak Budi Gunawan, nomor dua saya.   Nomor satu sampai 10 ditugaskan di Mabes semua. Saya ditugaskan di Bareskrim.

Sejak itu, berbagai penugasan berat yang penuh tantangan, dimulai. Sebab, suasana politik memang sedang agak hangat. Setelah itu, baru menjadi Kapolres Sampang. Setahun, kemudian dipindah jadi Kapolres Lumajang, serta Kapolres Pasuruan.

Pada tahun 2022, pindah tugas menjadi Wakapolwil Surabaya.  Setelah itu, dari tahun 2004 sampai 2007, ditunjuk sebagai Kapoltabes Palembang, Sumatera Selatan.(*)

 

Pendidikan:

 

SDN Sogan (1971)

SMPN 1 Wates (1974)

SMAN 1 Wates (1977)

AKPOL (1983)

 

Penugasan:

 

  • PAMA Polda Irian Jaya (1986)
  • Basubag Binops Sabahara Polda Irja (1986-1988)
  • Kasat Serse Polres Jayapura (1988-1989)
  • Kapuskodalops Polres Pinai Polda Irja (1989-1989)
  • Kapolsek Abepura (1989-1990)
  • Kapuskodalops Polres Jayapura (1990-1993)
  • Kasubag Rendalmin Ditjianbang Lemdiklat Polri (1993-1995)
  • Kapolres Sampang (1999-2000)
  • Kapolres Lumajang (2000-2001)
  • Kapolres Pasuruan (2001-2002)
  • Wakapolwil Surabaya (2002-2002)
  • Kapoltabes Palembang (2004-2007)