Liputan oleh : djoutomo Ditulis ulang oleh : djoutomo
Petruk membawa modal nekat. Ia menjawab pertanyaan Bagong dan Gareng soal keinginanya maju menjadi raja. Semua penonton tertawa. Hari itu, saya masih ingat, saya ikut tertawa bersama tokoh-tokoh hebat Komunitas Lima Gunung (KLG). Mereka sedang memboyong seniman petani anggota KLG ke Jakarta.
Peristiwa di penghujung tahun 2013 itu, ingin saya tulis ulang, di tahun politik ini. Saat itu adegan goro-goro terasa gayeng menjurus ke panas karena niat Petruk merebut tahta dalam lakon Petruk Nekat Dadi Ratu yang dibawakan Ki Dalang, Sih Agung Prasetyo.
Bagi cah Menoreh, orang Jawa Tengah atau priyayi Jogja, barangkali tidak asing dengan sebutan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Mereka aktif membuat kegiatan kebudayaan di lima gunung yang disatukan dalam komunitas itu.
Adegan Petruk ditanya Bagong dan Gareng adalah bagian dari pementasan wayang yang berkolaborasi dengan wayang kulit, wayang orang, wayang gunung, tarian kuda lumping, soreng, dan leak itu. Digelar dalam rangkaian Temu Komunitas Lima Gunung yang berupa pameran seni rupa dan instalasi, pentas kesenian, serta dialog budaya bertajuk “Maneges Gunung” (12-22 Desember 2013).
Dalam adegan goro-goro, Petruk dimainkan dengan sosok wayang orang, sedangkan Bagong dan Gareng dengan wayang kulit. Pementasan wayang pakeliran padat tersebut berlangsung selama sekitar tiga jam. “Yen to ndeleng kahananing jagat. Mulat kiblat papat. Kaya kaya yen ora nekat bisa kelangan “ kalimat yang bermantra magis itu menjadi pembuka pergelaran yang regeng, gayeng, sekaligus ger-geran.
Ia juga mengibaratkan bahwa rakyat dalam personifikasi Petruk masih dengan mudah diperalat oleh para elit dalam meraih kekuasaan mereka. “Opo Petruk jaman saiki ki yo gampang diapusi ngono kuwi? Ora, Petruk Gunung iki wis maneges. Teges e bisa mulat sariro banjur angrasa wani.” demikian kalimat lanjutan Sang Dalang.
Seperti biasa, seniman petani KLG memang selalu mempunyai cara untuk membuat ger-geran. Sih Agung sebagai dalang, juga punya selera humor yang baik sehingga mampu merespons penonton yang ikut terlibat dalam guyonan.
Lakon Kresna Duta dimainkan dengan baik. Pergeseran pasukan menuju perbatasan antara Astina dan Wiratha dalam adegan tersebut ditandai dengan perjalanan para seniman petani KLG menggunakan kuda kepang. Tarian jatilan melintasi panggung pentas wayang.
Akan tetapi, Prabu Duryudana tidak bersedia menyerahkan Astina kepada Pandawa. Hal itu, antara lain karena menyangkut harga diri Kurawa, kesejahteraan rakyat, dan kehendak untuk mempertahankan kekuasaan.
Suasana konflik antarkeluarga itu, tak hanya memengaruhi jagat manusia, akan tetapi juga alam semesta. Dalam pementasan itu, dalang Sih Agung memainkan “wayang gunung” (karya seniman petani KLG, Sujono) berupa sejumlah sosok serangga terbuat dari bahan plastik fiber.
Dialog antarsosok wayang gunung itu seperti kinjeng, walang, dhongkeret, tengis, lemut, tlendho, cicir, jongkang, dheye, walang kadung, semprang, semut, engkis, gangsir, jangkrik, dan laron, yang dimainkannya melontarkan pesan bahwa kalangan serangga itu juga makluk ciptaan Tuhan dan melaksanakan darma masing-masing di alam dunia.
“Itu artinya manusia tidak boleh egois, tetapi juga melihat alam. Mereka hidup di alam juga melaksanakan darmanya,” katanya.
Dalam adegan lain, berkisah tentang para Kurawa dibawah komando Patih Sengkuni berusaha membunuh Kresna karena dianggap sebagai musuh. Kresna di puncak kemarahan karena merasa ditelikung. Dia bertiwikrama lalu mengamuk dan menang saat dikeroyok Kurawa. Pada adegan itu, keluar penari leak (Kamto) dikeroyok oleh lima penari soreng.
Batara Narada turun dari khayangan, meredakan kemarahan Kresna agar tidak banyak korban karena juga harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan darmanya masing-masing.
Dialog antara Narada dan Kresna dituturkan oleh Sang Dalang, bahwa apa yang disebut sebagai bharatayuda itu bisa terjadi dalam jagat besar dan jagat kecil. Amarah Kresna reda dan perang keluarga bharata pun tetap terjadi.
Sang Dalang menancapkan di kelirnya, sosok gunungan dengan disamping berupa wayang kulit figur Kresna. Saat itu juga, Pangadi yang memainkan peran wayang orang, Petruk, masuk panggung lagi, menaiki tangga penyangga kursi bambu ukuran raksasa di pojok panggung pementasan itu. Beberapa bagian di kursi raksasa itu, bertuliskan “2014,” “Ratu”, dan “Nekad”.
Terdengar kemudian Sumpah Petruk diucapkan Petruk (Pangadi) mengakhiri pementasan. “Aku, Petruk, bersumpah. Aku akan menjadi ratu, bukan atas dasar uang dan harta benda. Akan tetapi, aku punya hati dan aku masih mendengar bisikan nurani,” demikian penggalan kalimat sumpah yang lantang diucapkan Sang Kantong Bolong. (bersambung)