Waktu itu, Kamis Pahing, 11 Suro 1947 Jawa (Jumat, 15 November 2013). Saya kembali ke Desa Tarub. Tidak ke pusara Ki Ageng Tarub, melainkan ke sendang tempat ia menemui Dewi Nawangwulan, istri jelita dari khayangan. Saya ingin ikut ngalap berkah dalam ritual ruwatan di sendang legendaries tinggalan Ki Ageng Tarub itu.
Sudah sejak siang hari, suasana terasa berbeda. Di sini, setiap tahun, pada tanggal 10 Suro, KRT Hastono Adipuro, Jurukunci pasarean Ki Ageng Tarub, memang menggelar upacara khusus. Upacara siraman dan ruwatan, untuk keberkahan anak cucu tokoh spiritual desa Tarub yang juga leluhur para raja tanah Jawa.
Kelir sudah dibentang, sebagai gambaran kehidupan alam raya, yang penuh warna. Barisan wayang, mengapit kelir, menjadi cermin karakter manusia. Di sisi kanan dalang, adalah wayang dengan sifat-sifat baik, sementara di sebaliknya, memiliki peranggai buruk. Gamelan yang akan mengiringi ruwatan, juga telah ditata sesuai pakem pakeliran gaya Surakarta. Suasana menjadi lebih khusuk saat ruwatan dimulai. Setidaknya ada 30 sukerta (orang yang wajib diruwat menurut orang Jawa) mengikuti rangkaian upacara sakral ini.
Mereka, orang-orang yang diruwat itu, datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang asli Semarang, bahkan Jakarta. Sementara orang-orang di Desa Tarub, lebih banyak menjadi penonton. “Ya, yang ikut kebanyakan memang orang jauh. Mereka masih sangat percaya, ruwatan di tempat ini, sangat sakral,” kata KRT Hastono Adipuro, yang memimpin upacara suci ini.
Terik di Tarub, beruntung tak sampai menyentuh kulit secara pedas. Pohon besar masih menyediakan rerimbunan sebagai payung. Suasana panas, justru terjadi, ketika upacara selesai, kemudian para pengunjung berebut air suci sisa jamas ruwatan. Mereka percaya, air yang sudah dimantrai ki dalang, memilik daya; memberi kesembuhan, membuat awet muda, menjaga pangkat, atau mengabulkan cita-cita.
Saya ikut di antara orang-orang yang berebut. Tapi hingga di dekat tempayan suci, air sudah tandas. Tak ada setetes pun dibiarkan tersisa. Bahkan, kembang setaman, yang menggenang di atas air, ikut diangkut. Perayaan batin itu, masih mengalirkan keyakinan, bahwa segala yang berasal dari masa silam, membawa keberkahan.
Lihat saja, orang-orang itu (termasuk saya) tak peduli derajat-pangkat, tua-muda, laki-perempuan. Semua larut dalam sengkut. Saling tanding tak masalah. Berebut sikut, untuk menjadi yang paling beruntung; mendapatkan air doa, bunga sisa ruwatan, atau sesaji lain, sebagai jimat.
Saya tahu, beberapa orang, adalah pejabat. Mulai dari yang tingkat desa, hingga yang sedang berburu wahyu legeslatif. Bagi mereka, membawa sisa ubo rampe ruwatan, adalah memanggul keberkahan. Meski kadang terasa tidak nalar, tapi menjadi lumrah, karena sawab Ki Ageng Tarub masih diharap.
Sendang itu, tetap ramah, meski orang-orang sedang saling terjang. Tidak ada yang marah karena terinjak. Tidak perlu malu, untuk ikut menyerbu. Suasana yang semula rapi, khusuk, dan sakral, berubah riuh. Saya menepi, setelah gagal membawa apapun. Memilih duduk, tidak jauh dari gong, melihat tempat yang bagai palagan sehabis perang.(bersambung)