Menyusuri jalan desa yang dicor hanya sisi kiri dan kanan (tengahnya tetap dibiarkan tanah kering atau rumput meranggas) saya menuju pemakaman keramat Ki Ageng Tarub. Hari itu, Minggu Kliwon, satu bulan sebelum Suro. Saya ingin bertemu KRT Hastono Adipuro, jurukunci makam, berkabar sekaligus sowan leluhur trah Mataram.
Di awal bulan-bulan kemarau, Tarub mulai dipanggang panas, meski udah salah mongso tetap datang. Sawah belum mengering, sementara pepohonan masih menghijau. Tapi yang terlihat paling rimbun, tentulah komplek pemakaman tua Ki Ageng Tarub.
Sampai di makam keramat leluhur trah Mataram ini, tenang mengalir penuh kharisma. Aura mistik, berpusat di sudut pusara Ki Ageng Tarub, di bawah pohon munggur yang rindang. Di sanalah semua berawal.
Saya langsung mengelesot di mushola yang selalu bersih, begitu sampai di komplek pemakaman. Rasanya, begitu banyak orang yang hilir-mudik. Sementara ki jurukunci, masih harus ditunggui merampungkan aktivitasnya, agak jauh dari makam. Saya ditemani Mas Har, yang banyak bercerita tentang kondisi makam saat ini. “Maaf tempatnya masih berantakan, karena ada sedikit pemugaran,” katanya.
Pria berkaos oblong putih dan jelana jeans ini, tiba-tiba beranjak. Ada serombongan peziarah yang minta ditunjukkan ke cungkup Ki Ageng Butuh. Rombongan itu, agak tidak biasa. Karena selain para orangtua, dibawa juga anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan. Memang, meski sedang dirapikan, para peziarah terus mengalir ke pusara leluhur raja-raja Jawa ini.
“Dari Jakarta juga banyak. Kemarin-kemarin, ada orang penting yang datang,” Mas Har berkisah. Orang penting itu adalah mantan ketua umum partai. Tentulah bukan cerita baru, jika tokoh-tokoh penting dari pusat, datang bertetirah di makam Ki Ageng Butuh. Tempat ini, termasuk salah satu makam tua yang menjadi favorit pejabat, untuk nyadong berkah agar jabatannya langgeng atau supaya persoalan yang membelitnya tak membesar.
Kisah-kisah semacam itu, semakin lengkap saat KRT Hastono Adipuro menghampiri kami. Penuh senyuman, ia menyambut dengan keramahan yang ajeg, seperti setiap saya datang, merepotinya dengan banyak pertanyaan. Sebagai jurukunci, ia memang tengah dibebat sibuk. Bukan saja, pemugaran makam yang harus dikebut, tapi juga hari-hari yang kian dekat bulan Suro, membuatnya harus bergegas menyiapkan upacara khusus di Sendang Bidadari – tempat Joko Tarub bertemu Dewi Nawangwulan.
Setelah menyalami tetemu yang siang itu banyak berdatangan, abdi dalem Keraton Surakarta ini, mengajak saya pindah dari mushola. Tikar pandan yang terlihat masih baru, digelar di depan ruangan jurukunci yang belum sepenuhnya kelar direnovasi. “Ya dibuat agak mendingan, agar para peziarah nyaman,” katanya sambil menyandarkan punggung di dinding berwarna hijau sangat muda.
Saya memandang lurus. Di depan kami, cungkup Ki Ageng Tarub, juga sedang dibuat bagus. Terlihat bata berserakan, debu semen menghampar, serta suara tukang yang memalu tembok. Peziarah tidak bisa masuk lewat pintu depan, yang terhalang tangga tukang. Harus lewat pintu yang ada di samping, dekat pohon munggur.
Dan, pada pohon munggur itulah, saya menambatkan pandangan agak lama. Pohon yang tumbuh di tepi kali kecil ini, seolah memberi peneduh area makam. Tinggal pohon itulah, yang masih tetap ada, sebab sudah banyak pohon tua yang hilang. Saya menyusuri sejak dari akra yang menyembul, terus ke atas, naik ke batang yang gembul, kemudian menghinggapkan tatapan di dedaunan yang berusaha bertahan di sisa musim kemarau.(bersambung)