Begitulah Ki Gede Suryomentaram. Setelah menjadi rakyat biasa daan tinggal di Bringin, sebutannya ikut bertambah sebagai Ki Gede Beringin. Dari Salatiga, pangeran kesepian ini, masih sesekali ke Jogja bertemu dengan tokoh-tokoh penting sekelas Ki Hadjar Dewantara.
Bersama sembilan orang tokoh, Ki Gede memang selalu menggelar pertemuan rutin yang disebut Sarasehan Selasa Kliwon. Pembahasan tidak hanya soal keadaan rakyat yang melarat, tapi meluas ke banyak soal mulai dari soal sosial, politik, hingga kehidupan yang semakin sulit.
Dari Sarasehan Selasa Kliwon ini, lahir salah satu yang legendaris hingga saat ini adalah berdirinya Taman Siswa. Itu terjadi pada tahun 1922. Ki Gede Beringin mendapatkan tugas yang tidak mudah yakni menyadarkan para orang tua agar anaknya bersekolah. Dan, sejak berdirinya Taman Siswa, nama Ki Gede diganti oleh Ki Hajar Dewantara, menjadi Ki Ageng Suryomentaram yang kemudian masyur sampai hari ini.
Tiga tahun setelah ikut mendirikan Taman Siswa, Ki Ageng Suryomentaram menikah lagi. Tepatnya pada tahun 1925. Perjalanan spiritualnya semakin matang, salah satu hasilnya ditulis dalam bentuk puisi berjudul Uran-uran Beja pada 1928.
Pada fase itu, Ki Ageng banyak melakukan penggembaraan batin. Ia menemukan dirinya sendiri. Kisah penemuan itu, digali dari banyak pengalaman serta perjalanan spirtualnya yang terus-menerus.
Perjalanan jiwa Ki Ageng Suryomentaram itu, menggumpal menjadi karya besar yang hingga saat ini dikenal oleh para penghayat kehidupan sebagai Kawruh Pangawikan Pribadi. Warisan luhur itu juga sering disebut sebagai Kawruh Jiwa. Sebuah panduan bagi mereka yang ingin setia menjadi manusia sederhana lahir dan batin.(bersambung)