Ki Ageng Selo-3: Syair Abadi Sang Penangkap Petir

oleh -344 Dilihat
oleh

Hidup Ki Ageng Selo, memang telah lama selesai. Namun kisah-kisah tentangnya, seperti luput diterjang maut, sebab waktu terus memeliharanya hingga kini.

Banyak legenda yang selalu dituturkan secara turun-temurun, dari generasi satu ke generasi berikutnya. Juga, kisah kesaktian Ki Ageng Selo yang mampu menakhlukan petir. Kisah itu,  terus diulang seolah senantiasa aktual, meski zaman selalu berganti. Kehebatan Ki Ageng, bahkan melebihi popularitas tokoh-tokoh lain yang satu zaman, ketika Demak sedang berjaya.

Suatu ketika (cerita ini terjadi ketika Demak masih dipimpin oleh Sultan Trenggana) Ki Ageng Selo pergi ke sawah. Mendung sedang menggantung di langit perdikan Selo. Hujan, tentulah, tidak lama datang. Dan benar. Tidak lama hujan lebat turun. Petir menyambar, seolah tak ingin kalah dengan derasnya air yang tumpah dari atas langit.

Semua orang berlari, mencari tempat teduh, serta menghindari amukan halilintar. Tetapi Ki Ageng Selo tetap menyangkul. Tiba-tiba, di saat baru sebentar dia mencangkul, datanglah halilintar (dalam bahasa Jawa disebut Bledheg).  Tubuh Ki Ageng disambar, bledek yang berwujud seorang tua sakti.

Seketika, petir yang menjelma dalam bentuk seorang kakek itu ditangkap. Lalu, diikat di pohon Gandri.  Ki Ageng, dengan langkah santai, kembali mencangkul sawahnya. Pulang menyawah, Ki Ageng Selo menggendong petir. Dibawa pulang, selanjutnya dibawa ke Demak, dipersembahkan kepada Sultan. Di kota raja Demak, halilintar dalam wujud kakek-kakek itu, dimasukkan dalam jeruji besi, dipamerkan kepada seluruh rakyat.

Namun, tiba-tiba saja, di saat begitu banyak orang datang melihat bentuk petir jadi-jadian itu, datang seorang nenek. Wanita renta itu, membawa air kendi yang segera diminim oleh Ki Bledeg. Dalam seketika, terdengar suara ledakan, tak ubahnya seribu petir berbunyi bareng. Lenyap. Si kakek hilang.

Legenda yang sama kondangnya, adalah peran Ki Ageng Selo dalam melahirkan Bende Kiai Bicak, pusaka raja-raja Mataram yang hingga kini, langgeng. Pusaka itulah, yang menjadi symbol kemenangan raja, dalam setiap peperangan.                  

Sebagai tokoh sakti, yang garis keturunannya meluas hingga ke era kejayaan Mataram, Ki Ageng Selo  memiliki banyak petuah. Salah satu yang hingga kini masih sering didengar adalah, perintah kepada anak-cucunya untuk tidak menanam waluh sambil memakai kain cinde. Mengapa? Sebab, suatu hari, Ki Ageng pernah celaka, tersandung pohon waluh.

Kisahnya begini: Saat itu Ki Ageng Selo sedang menggendong anaknya di tengah tanaman  waluh di halaman rumahnya. Dalam detik yang sama, datang orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat singkirkan, tetapi dia  kesrimpet batang waluh. Terjatuh hingga kainnya lepas dan menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Selo menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde.

Sebagai seorang yang memiliki peran penting dalam sejarah raja-raja Mataram, Ki Ageng Selo mempunyai putra tujuh orang: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki-laki bernama Kyai Ageng Enis.

Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang menikah dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama-sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ).

Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal di dusun laweyan, sebuah kawasan tua yang penuh daya magis. Setelah menjadi tetua Laweyan, maka kemudian muncul sebutan Ki Ageng Laweyan, hingga meninggal dan dimakamkan di desa Laweyan.

Urut-urutan itulah yang menunjuk betapa Ki Ageng Selo sangat lekat perannya sebagai penurun  raja-raja Mataram. Bukti lain, hingga saat ini, seluruh sisa kerajaan Mataram, selalu menjadikan makam Ki Ageng, sebagai lokasi yang dikeramatkan. Setiap tahun, menjelang Grebeg Mulud, selalu dikirim sesaji ke Grobokan.(kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.