Ki Ageng Selo-2: Selalu Ada yang Berziarah

oleh -164 Dilihat
oleh

Seorang pria dengan kopiah hitam, tengah Yasinan, saat saya mendekati rumah itu. Terdengar suaranya besar, membaca dengan sangat cepat. 

 

Di sampingnya, seorang ibu yang mengikutinya dengan suara lebih pelan. Mereka duduk nempel di dinding, di sisi barat agak ke utara di rumah makam itu. Artinya, jika tidak terhalang tembok, mereka berada di dekat kepala makam.

Dari depan pintu rumah, saya menyisir ke kanan, mengelilingi tembok yang tinggi, tanpa ada celah. Sampai di sisi barat, saya berhenti, tidak berjalanan memutari tembok. Saya sengaja balik arah, karena tidak ingin berjalan di atas kepala Ki Ageng Selo – bagi kebanyakan orang-orang tua Jawa, agak tidak sopan berdiri atau berjalan di utara makam, karena merasa berada di atas kepala orang yang dikuburkan.

Kembali menyusur sisi kanan, saya mendekati pohon yang  terlihat kurus, dengan tinggi yang tidak lebih dari genteng cungkup makam. Itulah pohon gandri, atau orang-orang sering pula menyebut pohon gandrik. Konon, di pohon inilah Ki Ageng menambatkan petir jadi-jadian, yang telah ia takhlukkan.

Menunggu jurukunci datang, saya duduk di sisi kanan dinding,tidak jauh dari bapak berpeci hitam, berdzikir. Semula saya ikut, melakukan dzikir itu. Sebab, rasanya akan sulit melakukan doa sendiri dengan khusuk, di antara suaranya yang besar itu. Juga, lebih tidak mungkin melakukan semadi, menyambungkan batin dengan dunia keabadian, tempat Ki Ageng Selo bersemanyam, kini. Suasana terlalu riuh.

Tidak ada yang lain, kecuali memang hanya mengikuti gerak tahlil, yang dilafakan bapak itu. Selebihnya menunggu, sampai kemudian petang benar-benar datang. Lalu, adzan magrib menyibak sore yang lengang, membuat orang-orang di pemakaman itu, bergegas menuju masjid. Juga saya, ikut meninggalkan sisi barat rumah makam Ki Ageng Sela, untuk nanti setelah magriban, kembali bersama jurukunci.

Masjid peninggalan Ki Ageng Selo berhias warna kuning tua. Senja yang juga ditaburi semburat warna kuning, menjadi penghias magrib yang rahmah itu. Lampu di komplek masjid itu sudah mulai dinyalakan, namun pijarnya belum nyata, karena masih di bawah bayang-bayang langit selepas sore.

Ikut sholat berjamaah di masjid keramat itu, kekhusukkan sangat  mudah datang. Tidak banyak memang, yang berjamaah. Seperti pada masjid-masjid lain, shaf pertama tidak penuh dari ujung kiri ke ujung kanan. Imam yang melafalkan bacaan sholat dengan langgam Jawa, membuat hati damai. Kedamaian yang terus menyusup hingga sholat selesai, dilanjutkan dengan dzikir panjang.

Saya memisahkan diri dari para jamaah. Menggeser duduk di tengah-tengah masjid, di bawah kubah yang disangga anyaman kayu bergaya tumpangsari. Bukan untuk berdoa sendiri atau berdzikir lebih khusuk. Bukan. Saya memisahkan diri untuk bisa menikmati suasana masjid yang sungguh-sungguh adem.

 

Tidak lama. Ya, tidak lama saya duduk di bawah kubah. Sebab, tiba-tiba saja datang rasa sunyi yang membuat ngeri, ketika semua jamaah sudah meninggalkan ruang sholat. Akhirnya, untuk menikmati adem yang menentramkan itu, saya pindah ke beranda. Bertemu dengan jamaah yang juga sedang membiarkan tubuh dibelai angin malam.

“Banyak orang Jakarta yang juga ziarah ke sini,” kata Kisanak, seorang jemaah sholat maghrib yang saya temui, saat duduk melamun menikmati malam datang, di beranda.

Banyak  cerita yang saya dengarkan dari Kisanak yang bercengkrama dengan angin di beranda masjid. Rasanya akan semakin menarik, jika dia tak buru-buru berlari meninggalkan masjid, untuk sebuah keperluan. Seorang diri, menunggu jurukunci tanpa kepastian ia bisa ditemui, akhirnya menjadi penantian yang membuat jenuh. Saya menyerah, kemudian memutuskan, meninggalkan masjid, sebelum tiba waktu solat isha.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.