Matahari di Kotagede sudah ramah. Pastilah, tidak lagi mengirim terik yang mencubit kulit kepala. Saya memang tidak bisa merasakan secara langsung panas menjelang sore itu.
Saya masih menikmati suasana khusuk, di cungkup agung Pasarean Kasenapaten. Saat itulah, saya baru saja mengalami peristiwa ajaib, ketika tiba-tiba seluruh tubuh diserang hawa dingin, begitu menghadap pusara Ki Jurumertani.
Atas saran Ki Bekel Hastono Sumitro, saya harus kembali ke sisi timur makam, untuk sowan ke pusara Kyai Ageng Pemanahan. Dan, di sanalah, kemudian saya menghabiskan waktu agak lama, untuk melakukan ritual batin, berdialog secara spiritual dengan ayahanda Kanjeng Panembahan Senapati itu.
Barangkali benar. Saya memang harus terlebih dahulu meraba pusara tokoh penting Mataram ini. Bagai sudah dituntun oleh kekuatan yang tak tampak, peziarah sudah mulai berkurang. Area yang sepanjang siang, penuh pedzikir itu, kosong. Hanya ada beberapa orang, yang bersila agak di belakang.
Ketika saya dengan laku dodok, berjalan sambil berjongkok, ada seorang peziarah yang tiba-tiba memberi tempat. Ia yang semula di dekat pusara, memundurkan diri. Di situlah, di sisi kiri (dekat kepala nisan, karena dalam tata cara Jawa, pengebumian jenazah kepalanya ada utara).
Suasana sangat hening. Jika pada siangnya, banyak peziarah yang berdzikir dengan mengeluarkan suara, kini, semua berdzikir dalam hati. Sama sekali tidak terdengar suara. Makam Ki Ageng Pemanahan, agak berbeda, karena menyediakan ruang untuk orang-orang duduk berjajar (bisa memuat tiga orang bersila) dengan lima baris ke belakang.
Berbeda dengan depan nisan Kanjeng Panembahan Senapati, yang sama-sama memiliki ruang untuk peziarah, pusara Ki Pemanahan ada di undakan yang lebih tinggi. Barangkali, undakan itu, untuk mempertegas perbedaan generasi, karena semakin ke bawah (artinya ke selatan) semakin muda generasinya
Setelah uluk salam, saya hanya mendekat ke kijing, mengelus bagian bawahnya, dengan tiga kali tepukan. Lalu, membacakan doa-doa untuk kebahagiaannya di alam kelanggengan. Sampai di situ, tidak ada tanda-tanda keanehan, selain keheningan yang semakin menghanyutkan.
Usai kirim dongo, dalam senyap, saya mengajak batin untuk memulai semadi. Dengan menegakkan duduk, meletakkan dua tangan di atas dua lutut yang bersila, mata mulai saya pejamkan. Cipta yang menghening, membawa ke meniti hati, untuk menemui Kyai Hageng Pemanahan yang tenang di dimensi abadi.
Aroma ratus, masih sempat mampir di indra penciuman. Tapi tidak lama. Sebab, setelah itu, seluruh indra saya tertutup satu demi satu. Saya biarkan batin menggembara, melompat ke pusaran kehidupan di masa silam, saat Alas Menthaok baru dibabat oleh Ki Pemanahan dan para pendereknya.(bersambung)