Ki Ageng Kebo Kenanga-1: Melawan Arus, Mengembalikaan Harga Diri

oleh -258 Dilihat
oleh

Minggu Wage di komplek pesarean Joko Tingkir, memang senyap. Sama sekali tidak ada aktivitas di sana. Tapi tentulah, itu di alam kasunyatan. Di dunia para arwah, pastilah berbeda.

Saya bukan orang yang sesungguh-sungguhnya bisa menembus alam gaib, yang membutuhkan kewaskitaan. Dengan ilmu yang serba terbatas, saya hanya bisa merasakan, atau paling pol, sekadar mengira-ira, membayangkan suasana jagad keabadian itu.

Saya bgambarkan, disambut kepulan asap yang membentuk wajah seseorang. Wajah itu, saya bayangkan sebagai sosok Sultan Hadiwijaya dalam dandanan Joko Tingkir. Barangkali anggapan itu salah, namun saya ingin mempercayainya bahwa seperti itulah aktivitas alam gaib yang bisa saya tangkap.

Lalu inilah yang terjadi. Usai menyentuh satu demi satu kijing yang berjumlah sembilan, saya menghentikan diri di depan pusara utama. Diposisikan dalam undakan yang tinggi, berada di ujung utara. Di bawah kelambu lebar, dengan penyangga kayu berukir bunga bakung,  itulah makam Ki Ageng Kebo Kenanga. Di sisi barat, berbaring abadi Nyai Ageng yang setia.

Tentu saja, seperti umumnya tokoh dari masa silam, banyak sekali petilasan atau yang disebut sebagai makam Ki Ageng Kebo Kenanga. Tapi hari itu, saya hanya ingin meyakini bahwa yang sedang sawa sowani adalah pusara Ki Kebo Kenongo.

Saya maju, duduk di undakana pertama. Tata cara orang Islam melakukan ziarah kubur saya lakukan, dengan mengirimkan doa-doa keselamatan menjalani kehidupan kedua yang panjang. Juga ayat-ayat pendek semampu saya.

Selesai. Selanjutnya, saya melakukan ritual lain, dengan bersemadi. Mencoba menyambungkan tali batin dengan Ki Ageng yang kawentar itu. Senyap yang merayap, menjadi perantara paling jitu untuk menyusup ke dimensi lain. Segeralah kesadaran terbawa ke alam sunyo rungi, alam senyap, alam yang bukan alamnya manusia.

Tapi tidak lama. Tak ada apapun yang saya temukan selain suwong, kekosongan. Juga tak ditemukan jejak Ki Ageng Pengging. Entahlah. Barangkali kemampuan saya yang sangat terbatas, sehingga gagal mengendus keberadaan para leluhur. Lantas, seluruh panca indra kembali ke fungsinya semula.

Saya menarik nafas, berusaha menormalkan perpindahan ruang dan waktu, yang bisa menjebak ke dimensi lain itu.  Masih dalam tata cara bersemadi, saya membiarkan suasana hening merayapi tubuh. Saya ingin menikmati kesenyapan yang menentramkan itu – kesenyapan yang memberi efek terapi batin.

Dan efek batin yang kemudian saya rasakan, sungguh berbeda. Dalam mata terpejam, saya seperti dibawa ke kejauhan. Kesadaran kembali meloncat dari tubuh, bersama hilangnya fungsi panca indra. Yang kemudian terjadi adalah saya dihardik ke tengah hutan. Rasanya benar-benar dihardik, diusir, dipaksa masuk belantara yang asing.

Ada jalan yang biasa dilewati orang. Saya tahu itu, karena tanah kemerahan menyembul, di antara rumput yang mati terinjak. Mengikuti jalan setapak itu, rasanya seperti menyusuri ketidakpastian. Semakin panjang saja, rasanya jalan itu, tanpa ada tanda-tanda ujungnya. Baru setelah tubuh terasa amat lunglai, terdengar suara air membentur bebatuan. Sungai. Ya, saya dibawa ke aliran sungai.

Namun di saat saya sedang menikmati wajah lelah, yang mulai terusir sejak air sungai, tubuh seperti diguncangkan orang. Saya menoleh, kembalilah semua kesadaran. Rupanya, sudah lebih dari satu jam saya tertidur di depan pusara Ki Ageng Kebo Kenanga. Saya bermimpi, diajak masuk hutan tanpa tahu apa makna mimpi itu.

Barangkali, hutan itu adalah gambaran desa Butuh ketika Ki Ageng Pengging, masih sugeng. Lalu sungai itu? Mungkinkah, tempat Joko Tingkir menyusuri alirannya, menuju Demak, untuk mengambil kembali posisinya sebagai prajurit pengawal raja – setelah ia dipecat dari kesatuan karena sebuah kesalahan kecil. Entahlah.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.