Perjalanan hidup Kiai Shaleh Darat, memang seperti sudah disiapkan untuk menjadi ulama. Di masa kecil, ia sudah digembleng oleh sang ayah yang merupakan ulama terkemuka. Setelah itu, ia juga berguru pada tokoh-tokoh kharismatik lain.
Terakhir, Shalel Darat, menyeberang ke Mekkah, untuk tinggal beberapa tahun di pusat peradaban Islam itu. Guru-gurunya semakin luas. Diantarnya Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi.
Di Mekkah, KH Shaleh Darat juga bertemu dengan santri-santri dari Indonesia yang sedang belajar di tanah suci. Misalny saja, KH Nawawi Al bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.
Nama-nama kondang lain yang menjadi mentor KH Shaleh Darat adalah KH M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin. Dialah, ulama kontroversial dari Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah. Syaikh Ahmad Mutakkin hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18.
Dari Syaik Ahmad Mutakkin inilah, KH Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Selain Syaik, kemudia Kiai Shaleh berguru kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Padanya ualama ini, Kiai Shaleh mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti.
Di Semarang KH Shaleh Darat mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Selanjutnya, kepada Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Kiai Shaleh juga mempelajari pula kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, kajian tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dari Syaikh Abdul al-Ghani. Demikian pula lalu nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Mutada’, dijalaninya bahkan kemudian menjadikannya sebagai menantu.(bersambung)