Jurnalisme Emperan: Yu Jamu

oleh -50 Dilihat
Oplus_131072

Oleh : Bambang Is

Perempuan muda sekitar 40 tahun itu benama Yanti. Barangkali lengkapnya Suyanti, Daryanti, Paryanti, Suryanti atau kalau mau sedikit kota Desyanti. _Whatever_-lah. Maka aku panggil saja dia Mba Yanti.

Yanti sering berseliweran di depan rumah kala waktu sehabis ashar. Dengan langkah lunak dia berjalan, sesekali menunduk _lingsem_, selayak daun putri malu manakala disentuh. Baju kebaya berkutu baru dan kain _jarit_ di atas betis membalut tubuhnya yang sedikit bernas, nampak singsat.

Wajah Yanti bulat dan berkulit langsat, bukan sawo matang seperti galibnya orang Jawa. Meski berkebaya, rambutnya pun hanya diikat ekor kuda.

Yanti bukan orang kantoran. Bukan pula mahasiswi atau pegawai kelurahan. Dia hanya satu dari beberapa Yu Jamu di kampungku. Namun Yanti berbeda dengan Yu Jamu yang lain. Mereka tidak lagi berbusana tradisi kebaya. Rupa- rupa jamu yang ditawarkan pun tidak lagi digendong tetapi ditaruh dikerombong sepeda motor.

“Kok mba Yanti ga naik motor seperti yang lain?” tanyaku iseng pada suatu hari.

“Enakan begini, Pak..”

“Begini gimana?”

“Jalan kaki bikin sehat,” ujarnya datar sambil menuang jamu dati _gendul_ kaca ke dalam gelas blimbing.

Apa yang menarik dari Yanti? Bagiku dia unik dan naif. Kekagumanku akan kesetiaan pada tradisi itu yang membuat aku meleleh.

Kebaya dan jamu adalah dua magnet luar biasa dari diri perempuan peracik jamu asal Sragen itu di masa sekarang. Keunikan yang lain adalah, Yanti nyata sekali pekerja keras. Lihatlah dia membiarkan jari-jari tangannya menguning akibat meracik kunyit saban hari.

Di tengah fenomena jamu gendong sudah meluntur (karena kebanyakan bersepeda atau motoran), Yanti masih setia berkebaya dan berjalan kaki berkeliling kampung sambil satu tangannya menjinjing ember kecil berisi air bersih.

Kebaya, kain _jarit_, berjalan kaki dengan bakul di punggung bagi Yanti adalah strategi _marketing_ yang menurutku cerdas di tengah _framing_ bahwa _marketing_ harus cangih dan teknologis.

Cara-cara purba dan puritan seperti yang dilakukan Yanti, justru membuat racikan jamunya laris manis.

Sudah berapa rumah saja Yanti berhenti dan melayani pembeli dengan kunyir asem, beras kencur, cabe puyang, kunci sirih, atau pahitan. Sementara senyum dan keramahan selalu ditampilkan Yanti dengan iklas tanpa ada pretensi untuk kenes.

Mungkinkah Yanti sedikit dari Yu Jamu yang masih setia merawat tradisi purba itu di negeri ini?

Namun beberapa pekan terakhir ini, aku tiada pernah melihat kelebat Mba Yanti lagi. Mungkin dia kembali ke kampungnya?

Aku lemas. Menurut kabar dari sumber yang tak layak dipercaya, Yanti telah menerima pinangan seorang lelaki di kampungnya. *(BIS)*