Jumat Pon, sebelum siang. Saya sudah kembali melewati cungkup Watugilang. Uluk salam sebentar, melewatinya, menuju Kagungan Ndalem Hastana Kitha Hageng. Saya sengaja datang agak siang, untuk ikut Jumatan di masjid tua peninggalan Kanjeng Panembahan Senapati, di komplek itu.
Masjid masih senyap saat saya longok dari balik gerbang candi bentar, di depannya. Memang masih jam 10 pagi saat itu. Saya kembali ke depan, duduk bersama para musafir yang banyak memanfaatkan bangsal di depan beringin tua.
Ada Abah, laki-laki yang mengaku asal Key, yang menjadi penggembara, setelah mualaf. Begitu saja, ia mendekati saya, kemudian berkisah tentang jalan hidupnya. Saya hanya mendengar. Atau, sesekali melihat wajahnya yang mengering. Perpaduan tua, kehitaman karena sengat matahari, serta keriput yang mulai menjalar.
Panjang, tanpa henti kisah Abah. Saat saya tawari rokok kretek, ia menggeleng. Katanya, ia sudah meninggalkan rokok. Sambil membetulkan kopiah haji yang warna putihnya sudah berhias kuning, ia melanjutkan cerita. Selama tujuh tahun, ia mengembara. Dimulai dari Masjid Agung Palembang, kemudian menyisir pulau Jawa.
Sepulang dari pusara Sunan Ampel, ia kembali menyisir Jawa dari arah timur. Satu bulan baru sampai di Kotagede. Selanjutnya, dalam rencana perjalanannya, yang dituju adalah Makam Sunan Gunungjati, di Cirebon.
Abah tidak sendirian, di bangsal di seberang tempat parkiran itu. Setidaknya ada 10 orang pengembara yang ada di sana. Termasuk tiga wanita setengah baya. Dari dialegnya, saya tahu, mereka datang dari Jawa Tengah agak barat. Mungkin di sekitar Purwokerto, karena dialegnya sangat Banyumas.
Satu orang yang menarik, bertubuh kurus, berambut panjang. Laki-laki ini menyerupai seniman dari caranya berpakaian. Baju dan celana, terbuat dari kain tambal-tambalan. Tambalan yang disengaja, biar gaya. Lalu, celandanya, dobel. Yang luar komprang. Nah, di pergelangan kaki kanan, ada krincing, gelang penari remo. Karena itu, ia memperkenalkan diri sebagai Pak Krincing.
Saya tidak sempat berbincang dengan Pak Krincing, karena sudah dimonopoli Abah. Kami hanya saling bersapa dari jauh. Atau, sesekali, dia menyela kisah Abah dengan melempar kelakar. Tapi justru lemparan becandaan itulah, yang kemudian membuat Abah, mulai lelah mendedah perjalanannya. Saat itulah, saya mengambil nafas, menggeser duduk, menatapi beringit tua, yang sulur-sulurnya bagai seribu tangan raksasa.
Memejam, saya mencoba menembus dimensi lain, di balik tubuh meringin yang melebar dengan batang utamanya mulai rapuh, diganti sempalan-sempalan yang tumbuh merimbun. Dalam mata terkatup, saya mendengar suara-suara halus. Juga ayam-ayam jantan, yang terasa bernyanyi. Memang, di rumah-rumah di bawah beringin itu, banyak dipelihara ayam-ayam jantan.
Saya menghitung, di rumah yang persis di bawah naungan sulur-sulur beringin, ada tiga kurungan jago. Lalu di samping rumah di depannya, lebih dari lima kurungan, dengan tiga ayam jago yang sedang berlompatan.
Rumah dibawah pohon beringin itu, tentulah, terlihat amat kecil, berdiri di kaki beringin yang tua merimbun. Rumah-rumah itu, memang menjadi terasa amat bersahaja. Hanya berbentuk seperti rumah limasan dalam versi sangat sederhana.
Selain pendek, rumah-rumah itu, juga tidak memancarkan kemewahan sebuah tempat tinggal. Yang membuat rumah-rumah itu, tampak istimewa, adalaha warna-warna hijau tua dan muda. Warna-warna yang serupa dengan warna keraton. Lihat saja, warna-warna itulah, yang menjadi mendominasi benda-benda kraton, mulai dari warna pintu, dinding, hingga tiang-tiangnya.
Jam 11 siang, saya meninggalkan Abah dan bangsal yang menjadi tempat para penggembara istirahat. Saya masuk kompleks masjid, yang masih senyap. Sholat Jumat sedang dipersiapkan. Setelah mengambil wudhu, saya masuk masjid, melakukan sholat dua rakaat, lalu, mengambil duduk dua shaf di depan mimbar tua. Baru ada tiga orang di dalam masjid itu, selain para pengurus yang mempersiapkan Jumatan.
Sengaja, saya duduk di depan mimbar. Bukan di shaf pertama di belakang pengimaman. Sebab, saya ingin mendapatkan suasana yang lebih dalam, saat membayangkan di mimbar itulah, dulu, para leluhur di masa silam, memberi kotbah.(bersambung)