Tak ingin dianggap kurang santun di pusara tokoh sakti masa silam, saya segera menyembah. Seketika, kabut tipis memudar dan hilang sama sekali. Tapi selanjutnya, aroma mawar yang menggantikannya.
Dan, disinilah Joko Tingkir disemayamkan. Tidur abadi, setelah mengguncang Demak Bintara, dalam sejarah yang gemilang. Saya membaca doa, mengirimkan permohonan kepada Tuhan, agar Mas Karebet yang pernah menggegerkan Tanah Jawa, diberi kebahagiaan di alamnya kini.
Lama, saya menikmati kesenyapan. Selesai berdoa, saya masih duduk di pusara besar yang terbuat dari batu padas warna kuning itu. Duduk bersila. Kepala menunduk, dua tangan membentuk sikap meditasi. Mengosongkan segenap panca indra.
Tidak ada yang terjadi, selain hening yang sesekali dibingkai keresek gesekan daun-daun bambu, di luar cungkup. Meski terbata-bata, saya berusaha bercakap dengan Joko Tingkir. Memohon izin, menuliskan kebesaran namanya. Meminjam sejarahnya yang penuh keriuhan, untuk dituliskan. Ya, dituliskan kembali, sekali lagi agar segala yang besar pernah dilakukan, mampu menjadi suri
Dalam dialog sunyi itu, saya bayangkan Joko Tingkir hadir. Tidak tampil sebagai Joko Tingkir yang saya andaikan, laksana pendekar. Tidak pula bergaya Sultan Hadiwijaya, yang agung, sebagai raja Pajang. Lewat kesunyian itu, saya menghadirkan Mas Karebet yang bersahaja, bertutur lembut, tapi memiliki tatapan yang sesekali menajam.
Kesan itu sangat kuat, meski yang berbincang, hanya batin saya. Tingkir, lengkap dengan segala latar kehidupan yang mendewasakan, adalah trah andana tapa rembesing madu sarining tawang (keturunan seorang suci sekaligus bangsawan yang di dalam jiwanya terpahat aura kepemimpinan). Sifat itu, terpancar dari seluruh tubuh, tabiat, hingga cara-cara memperlakukan orang.
Saya tidak ingin berlama-lama dalam dialog sunyi itu. Ada takut yang menyergap, membayangkan pesona Tingkir yang menyihir. Segeralah, saya menyudahi meditasi, dengan menarik nafas panjang, kemudian merapal perpisahan dengan bayangan agung Mas Karebet. Seketika, suhu tubuh saya menghangat, entah karena pengaruh apa. Tapi tidak lama, sebab setelah itu, kembali normal, dan yang terlihat di sekeliling adalah nisan-nisan berukuran jumbo.
Di depan saya bersila, yang berada di bawah kelambu putih keperakan, adalah pusara Joko Tingkir. Ada pancaran aura gaib yang amat kuat. Bunga-bunga segar, seolah berebut dengan yang sudah mengering, di punggung nisan. Kepala nisan, dibalut mori warna emas, menyuguhkan kesakralan yang sangat dalam.
Ada di sebelah utara, dalam undakan yang lebih tinggi, dua pusara besar, juga terlindung kelambu. Itulah tempat Ki Ageng Kebo Kenanga dan Nyai Ageng Kebo Kenanga disemayamkan. Tampak dari pusaranya, dua tokoh itu, dihormati lebih dari apapun, meski Joko Tingkir tetap menjadi sosok senetral. Saya akan tuliskan lebih panjang, tentang persamuan batin saya dengan Ki Ageng Pengging itu, pada tulisan tersendiri.
Penghormatan kepada Ki Ageng Kebo Kenanga sekalian, dapat dilihat dari tempatnya yang lebih tinggi, bahkan dari pusara Joko Tingkir, yang tak lain adalah putra terkasih. Di bawah Ki Ageng Kebo Kenanga yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Penging, selain pusara Joko tingkir, ada makam Kanjeng Pangeran Benawa. Dia adalah putra Joko Tingkir, yang posisinya berada di sisi barat pusara sang ayah.(bersambung)