Hari ini, 30 Maret 2018. Insan film, penikmat film, hingga kritikus perfilman, memperingati Hari Film Nasional (HFN).
30 Maret dipilih sebagai HFN karena mengambil momentum syuting pertama film Darah dan Doa, kisah perjalanan long march pasukan Siliwangi ke Jogja. Itu terjadi pada 30 Maret 1950. Dan, sutradaranya, Usmar Ismail, anak minang yang dibesarkan oleh atmosfir kesenian serta perjuangan di kota Revolusi, Jogjakarta.
Sepuluh hari lalu, tepatnya 20 Maret, Usmar Ismail genap berusia 97 jika masih hidup. Sebab ia lahir pada 20 Maret 1921 dan meninggal 2 Januari 1971 pada usianya belum genap 50 tahun. Ia dikenal sebagai seniman, penggiat film, serta pejuang kemerdekaan. Di dunia film, Usmar Ismail, dinobatkan sebagai pelopor perfilman nasional.
Merampungkan pendidikanya di HIS, MULO-B, AMS-A II Jogjakarta. Ia sudah terlibat dengan dunia kesenian sejak belia. Dasar pendidikan film diperoleh dari Universitas California, tujuh tahun setelah Indonesia Merdeka.
Jogjakarta seperti sudah menjadi kampung halaman buat Usmar Ismail. Selain sekolah, saat Ibukota Negara dipindah ke Jogja, ia ikut hijrah. Masuk militer dengan pangkat Mayor, Usmar Ismail, menjadi bagian dari pasukan republik yang mempertahankan Jogjakarta saat Class II.
Tapi begitulah. Meski berdinas di militer, ketertarikannya pada kebudayaan tak hilang. Di Jogja, selama dua tahun dari 1946-1948, Usmar Ismail bahkan pernah menjadi Ketua Badan permusyawaratan Kebudayaan Jogjakarta. Pada sat bersamaan, ia menjadi Ketua Serikat Artis Sandiwara Jogjakarta.
Di tahun-tahun itu, dan masih di Jogjakarta, Usmar Ismail mendirikan Patriot, media perjuangan yang cukup terpandang. Lalu, mengelola halaman di Majalah Arena, Jogjakarta. Selama satu tahun dari 1946-1947, Usmar menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Setelah matang di Jagjakarta, Usmar Ismail kembali ke Jakarta dan berkiprah di tingkat nasional. Antara tahun 1955-1965, tokoh yang kawentar ini, menjabat sebagai Ketua Akademi Teater Nasional Indonesia. Lalu, Ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN).
Usmar Ismail dikenal pula sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Tidak sendirian, tentu saja melainkan bersama tokoh-tokoh film seperti Djamaluddin Malik. Selanjutnya pada 1954-1965, ia menjadi Ketua Perfini.
Di era kehidupannya di Jakarta setelah tahun 50an, Usmar Ismail menjadi tokoh yang dikenal luas, dengan berbagai kesibukannya. Selepas tahun 60, aktivitasnya mulai menyebuth politik praktis.
Dari 62-69, ia tercatat sebagai Ketua umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi). Sejak 64-69, Usmar juga menjadi anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Dan, pada periode 1966-1969, Usmar Ismail terpilih sebagai anggota DPRGR/MPRS.(kib)