Ingat Saat Ikut Perang, Setiap Agustus Mbah Kawit Nangis

oleh -199 Dilihat
oleh

Nama panjangnya Pawiro Sudarmo. Tapi pria sepuh ini biasa dipanggil Mbah Kawit. Usianya sudah 90 tahun. Lahir tahun 1923 di Dusun Karang Tengah Kidul, Margosari, Pengasih, Kulon Progo, Jogjakarta.

Ia seorang Veterang Perang Kemerdekaan. 73 tahun lalu, di saat Republik Indonesia diproklamirkan, Mbah Kawit sudah berusia 22 tahun. Jadi ia bergabung dengan BKR ( Badan Keamanan Rakyat) dan TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ).

“Kulo dilahirke nggih ing mriki, Karang Tengah Kidul, Margosari, Pengasih, Kulon Progo. Kulo saben-saben wulan Agustus namung sagetipun nangis. Ning ugi remen, dene anak putu anggenipun ngluhuraken dateng poro luhur estu estu,” kata simbah yang masih terlihat sehat di usianya yang amat sepuh.

Mbah Kawit juga masih bisa bercerita panjang  tentang perjuangannya bersama anak-anak muda di masa perang kemerdekaan. Saat itu, dari Pengasih, ia jalan kaki ke Jogja. Bergabung dengan pasukan yang berperang di Kota Baru. Saat itu, yang dilawan adalah bala tentara Jepang.

Saat Agresi Militer, Mbah Kawit ikut perang di Ambarowo, Semarang. Di sini, yang menjadi lawan adalah Belanda dan sekutu. Dengan penuh kebanggaan, simbah terus bercerita tentang suasana perang yang sangat mengerikan.

Mbah Kawit juga bercerita tentang senjata andalanya, Bambu Runcing. Senjata otomatis Belanda melawan bambu yang diruncingkan, sudah pasti mustahil. Tapi berkat Yang Kuasa semua tentara Belanda maupun Jepang mundur dan mengakui Indonesia menang.

Setelah Kemerdekaan 45, Mbah Kawit pulang ke Pengasih. Lima tahun kemudian, dengan tekad yang membara, di antara sisa gelora perjuangannya, Mbah Kawin bergabung dengan Dinas Kesehatan Rakyat.

Saat itu, tahun 1950an, Pawiro Sudarmo pernah bertugas di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tapi mendekati purna tugas, wilayah operasinya a da di Daerah Istimewa Yogyakarta. Itu dijalani sampai Mbah Kawit penisun tahun 1964.

Selama bertugas, begitu cerita Mbah Kawit, tidak pernah mengajak Istri kesayangannya yakni Mbah Saniyem yang usianya kini sudah 80 tahun. Tapi pernikahannya dengan mbah putri dijalani dengan penuh kebahagiaan, meski kadang harus berjauhan.

Bersama Mbah Saniyem, hari-hari tua Mbah Kawin dijalani dengan t enang. Enam orang anak, juga sudah mandiri. Mbah Kawit berharap kepada anak cucu untuk melanjutkan perjuangan generasinya yang saat ini sudah  banyak yang tiada. (yad)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.