Hari Pers Nasional & Jurnalisme Cakir

oleh -8 Dilihat
oleh

Malam ini, mumpung masih tanggal 9 Februari, saya ingin membuat tulisan yang agak-agak congkak meski sebenarnya sekadar ngawur. Tulisan untuk ikut merayakan Hari Pers Nasional.

Tulisan waton suloyo ini, saya mulai dengan mengingat kawan-kawan saya: Ipung, Bahar, Idham, Gatot, Arif, Ricky, Andro, Tole, Ompong, Imron, Ucrit, Fauzan, Supri, Maja, Cakmanan, Rini, Lia, Hanif, Siswo, Iwan…(sopo meneh yo?)

Oh iyo, di barisan sesepuh: Pak Margiono, Pak Karim, Pak Kiki, Pak Ug, Pak Ruli, Pak Ludin, Pak Sahal, Pak Jajuli, Bang Mulya, Bang Zoel (dua orang yang saya tulis terakhir adalah tokoh Batak di Ruko depan Akasia Kebayoran Lama, sayangnya Toserba Akasia itu, hanya tinggal kenangan).

Saat itu bulannya sedang puasa. Puasa saja tinggal seminggu, jadi bisa dibayangkan lemasnya seperti apa, ditambah fikiran mudik, dan baju lebaran yang belum dibeli. Nah, dalam suasana kalut serupa itu, siang-siang dipanggil poro sesepuh untuk ngumpul, tanpa punya pilihan selain berangkat.

Saya, saat itu, sudah boleh jumawa menyebut diri sebagai wartawan senior. Setidaknya, waktu itu sudah beberapa koran baru dipercayakan oleh Pak MG pengelolaannya. Umpama saja koran bernama Demokrat yang di tahun-tahun awal reformasi, ikut meramaikan panggung politik. Setelah itu, sebuah koran klenik bernama Meteor (mohon maaf harus saya tuliskan bahwa ini adalah koran yang kemudian diboyong ke Semarang dan menjadi Harian Meteor yang kondang).

Hari itu, sambil sekuat tenaga menjalankan puasa, kami sedang sibuk-sibuknya mengawali terbitnya koran baru. Konsepnya belum ketemu, tapi kira-kira bentuknya adalah koran metro (secara berkelakar kami menyebut koran ini dibuat agar Poskota tidak menjadi raja metropolitan seorang diri).

Namanya sudah dari awal ditemukan. Lampu Merah. Aneh memang, selain tidak lazim. Tapi nama itu menarik seperti umumnya ide-ide nyleneh Pak MG. Tanggal keramat untuk memulai terbitan perdana juga sudah dipilih. Senin Legi, tanggal 10 Poso 1934 Tahun Jawa yang bertepatan dengan tanggal 26 Nopember 2001 Masehi.  Atau, 10 Ramadhan 1422 Hijriah.

Lampu Merah edisi perdana tanggal 26 November 2001

Jadi, hari itu, saat kami dipanggil siang-siang, Lampu Merah sudah berusia dua pekan. Biasanya, kami ngumpulnya agak sore, menjelang magrib, semacam rapat redaksi. Sampai dua pekan itu, semua masih komplet. Terutama Pak MG yang sangat berhasrat menjadikan koran baru ini membesar.

“Kalau Lampu Merah mau besar, Lebaran nanti tetap terbit. Ini adalah momentum untuk Lampu Merah di saat semua koran libur pada saat Idul Fitri,” kalimat itu, tidak akan pernah saya lukapan, diucapkan Pak MG dengan biasa saja, tanpa tekanan apa-apa, seperti ngudoroso pada dirinya sendiri.

Semua diam. Bang Zoel yang paling senior (di luar barisan sesepuh) sehingga diserahi tugas menjadi GM, tidak bersuara. Ipung yang dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi, diam. Padahal saya yakin, Pak MG sangat berharap Ipung menjawab tantangan itu, sebab, ia adalah arek Suroboyo yang ‘disiapkan’ secara khusus oleh Pak MG.

Siang itu, semua diam mendengar tantangan yang memang terasa muskil itu. Juga Pak Karim, tokoh pers sejak kejayaan Harian Merdeka. Lalu, begitu saja, saya mengatakan, “Saya siap bos.” Semua kaget. Apalagi Pak MG yang seperti tidak menyangka, tantangannya akan dijawab, bahkan oleh seorang saya (yang secara strata paling rendah posisinya). Saat itu, saya adalah Wakil Pemimpin Redaksi, sementara yang lain adalah para sesepuh dengan pangkat tinggi-tinggi.

Sudah. Akhirnya, Lampu Merah diputuskan tetap terbit pada Idul Fitri. Itulah sejarah dimulainya koran nyleneh ini, tidak pernah memiliki hari libur, meskipun di kalender ada tanggal merah. Tradisi terbit di tanggal merah terus dipertahankan hingga waktu yang panjang, bahkan hingga nama Lampu Merah tidak dipakai lagi. Dan, koran tanpa hari libur itu, baru disudahi setelah dwi windu kemudian, karena akhirnya, Lampu Hijau yang menjadi penerus Lampu Merah mengikuti aturan pemerintah tentang hari libur.

                                                                                              ***

Baiklah. Di Hari Pers Nasional ini, saya benar-benar ingin mengenang Lampu Merah.  Tidak perlu saya bercerita tentang malam pertama deadline yang terasa heroik. Saya akan cerita isi koran yang pada terbitan perdana masih terasa lugu dan wagu.

Judul berita utamanya begini: Rp 2 Miliar Dirampok. Sementara judul-judul lain juga masih sama, pendek dan apa adanya. Tentu, itu adalah edisi uji coba. Terbitan hasil perdebatan yang tak menemukan titik temu. Sing penting terbit. Sekadar mengamankan terbitan perdana.

Lampu Merah edisi tanggal 31 Desember 2001

Judul-judul pendek masih terus dipertahankan hingga tri mandyo condro. Tapi setelah itu, kami resah, karena koran menjadi sangat biasa. Judul yang langsung-langsung seperti itu, terasa kurang Lampu Merah. Lalu judul diubah yang agak-agak romantis atau kadang-kadang sok nyastra. Tetap saja belum mengena. Buntu.

Baru mendekati ulangtahun pertama, kami mulai berani melepaskan kaidah yang sebenarnya hanya sekadarnya diterapkan. Sebab, sepanjang satu tahun itu, meski judulnya masih pendek-pendek, tapi sudah mulai muncul celetukan-celetukan yang tidak biasa.

Lalu tibalah hari itu. Iseng, di sore sebelum magrib, seperti biasa saya dan Ipung ada di depan komputer layout. Sementara Bang Zoel ada di ruang duduk agak jauh. Cak Imron juga sudah ada di sana. Ia adalah pelayout yang kami bajak dari Radar Bogor.

Sudah mau magrib  tapi halaman satu masih kosong, karena agak tumben, belum banyak bocoran dari lapangan. Baru ada satu berita yang akhirnya kami sepakati menjadi headline.

Lalu, Ipung menuliskan judul. Sudah. Didiamkan, ditinggal Sholat Magrib. Saya tambahi judul itu menjadi agak panjang. Eh, sampai  malam judul itu tidak diganti. Mungkin Ipung sebagai Pemred tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) judul itu sudah saya tambahi. Ya sudah, sejak saat itulah, kami memakai judul panjang tapi masih sekadar panjang. Belum berani yang aneh-aneh, ngawur, dan (kata orang) lucu-lucu.

Kemudian  (ini juga rahasia dapur kami), beberapa berita halaman satu saya yang mengedit. Cak Ipung hanya membuat judul, ya maklum Pak Pemred tentulah tidak ingin repot-repot ikut ngedit. Jadilah, hampir semua berita halaman satu memakai model tulisan saya. Dan, rupanya, para sesepuh kami cocok dengan gaya tulisan seperti itu.

Nah yang celaka adalah saya, karena Cak Ipung akhirnya benar-benar menyerahkan semua urusan mengedit pada saya. Gaya penulisan itu, bahkan dipakai di semua halaman, sehingga Ipung selalu menyebut Lampu Merah itu, memakai aliran jurnalisme Cakir. Dari generasi ke generasi dalam waktu yang sangat lama, jurnalisme Cakir ini, dipakai sebagai identitas penulisan Lampu Merah.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.